PART 5. JELAGA

84 27 16
                                    

*5.

Shibuya - Tokyo - Jepang

.
.
P0V. Dewa Samudra
.
.
Aku menepuk-nepuk perutku yang begah. Salah makan? Tidak kuat efek obat? Atau karena cuaca?

Di layar hand phone 18°C sebagian cerah, real feel 20°C. Nyaman bagi orang lain. Ini masih musim gugur. Bagaimana jika musim dingin tiba? Tubuhku yang terbiasa dengan iklim tropis semoga bisa menerima.

Ku rapatkan tudung hoodie secara penuh hingga menutupi kepalaku. Menapaki underground Bicycle Parking System. Katanya parkir bergaya Eco Cycle ( tempat parkir sepeda mekanik yang di kembangkan berdasarkan konsep "budaya di atas tanah dan fungsi di bawah tanah ") ini adalah sistem parkir bergaya lift tercanggih.

Urusan parkir di sini begitu strict ( ketat ), baik untuk mobil, motor maupun sepeda.

Aku mengambil kartuku dan aku tempelkan pada sensor yang ada di sebelah lift untuk memindai. Tak lama kemudian sepedaku muncul, hanya dalam hitungan detik.

Aku terbiasa gowes untuk ke mini market atau sekedar jalan-jalan ke taman kota. Menikmati musim gugur dengan dedauanan yang berwarna merah, orange dan kuning.

Proses perubahan warna itu warga Jepang sebut sebagai momiji. Ada festivalnya.

Semakin pendeknya waktu siang hari dan panjangnya malam, perubahan suhu dan berkurangnya intensitas cahaya matahari, daun menghentikan proses pembuatan makanan. Klorofil rusak, warna hijau gak ada, warna kuning hingga jingga yang muncul.

Sebenarnya Farayaka ingin mengajakku ke taman Rikugien, distrik Bunkyo, hanya untuk melihat pepohonan yang dedaunnya menguning lalu berguguran dengan indah. Tapi aku menolaknya. Hubungan emosional yang makin dekat membuatku harus membatasi diri.

Aku bukan pria bodoh. Aku tahu Farayaka tertarik padaku. Meski aku bukan lelaki Fanatisme dengan hubungan yang bukan mahram seperti Firdaus, tapi aku tak ingin memberi harapan palsu.

Dengan suhu 60% dingin dan 40% panas. Matahari tidak berlangsung lama dan cuaca cenderung terkesan gelap. Sering tiba-tiba hujan meski tidak deras. Dan seperti hari-hari kemarin. Pagi yang berkabut. Siang yang pendek. Malam yang lebih panjang. Membuatku menggigil.

Namun aku tetap mengayuh sepedaku perlahan. Menuju Yoyogi park. Tempatku janjian dengan teman-teman. Jika aku menyerah dengan cuaca atau kondisi tubuhku. Aku tidak mungkin bisa bertahan di sini. Sedang pekerjaan dan kuliyahku menanti untuk di tempuhi. Tanpa bisa kompromi.

🍁

🍁

Yoyogi park

.

Taman Yoyogi yang didominasi warna kuning, merah dan keemasan dari pohon
Ginko biloba dengan dedaunnya yang mulai berguguran menyambutku.

Air mancur di tengah lapangan. Taman yang dulunya Olympic Vallage ini memang amazing.

Sore hari yang sempurna. Indah melihat banyak keluarga sedang bermain, anak-anak muda yang bersantai di tepi kolam, bangku-bangku taman yang di penuhi pengunjung, orkestra yang bermain musik adalah pemandangan yang mengingatkanku pada taman Bungkul Surabaya. Meski jelas berbeda.

Dengan pepohon yang di biarkan tumbuh bebas. Tidak seperti taman lain yang di tanam berbaris rapi di pinggir jalan.

Aku bergegas menghampiri sebuah bangku di mana teman-temanku menunggu.

"Hah? Kamu bersepeda, Wa? Udah sembuh?"

Sebuah suara membuatku menoleh. Aku nyengir melihat pemuda di hadapanku langsung menjamahi pinggangku. Menyingkap hoodieku.

𝔼𝕊𝕋𝔸𝔽𝔼𝕋 𝕋𝕆𝕏𝕀ℂ ( ℍ𝕚𝕒𝕥𝕦𝕤 )Where stories live. Discover now