PART 1O. SUATU HARI, DI LAMPU MATI

149 26 18
                                    

*10.


Pov. Haidar

Seandainya aku punya batangan emas aku ingin membeli istriku. Membiarkannya bermimpi tentang istana di atas sawah berlumpur yang di tanami padi dengan bulir berlian.

Sayangnya itu hanya menjadi tertawaan bocah kecil seperti Ibra jagoan kecilku.

Sayangnya tak Ada padi berbulir berlian. Dan seonggok padi yang terserak itu telah berubah menjadi ulat Grayak yang menjadi sekumpulan koloni yang menggerus minpi-mimpi. Menyerang pada malam hari dengan rakus. Batang dan daun tungkus lumus tak terendus. Dan siang harinya bayi-bayi larva mendekam dalam pangkal batang.

Tak guna dilempar kaos dan kemeja yang bau karena tak tersentuh deterjen untuk mengusirnya. Aku memprotes semesta yang seolah menghina dan tertawa.

Ulat grayak itu masih saling mengoyak. Mengaburkan mimpi yang terbahak-bahak.

Dan lagi, aku gagal memahami bahwa istriku bukankah hyena betina seperti Rosmery. Dengan organ klitorisnya yang bisa mengalahkan singa jantan sekalipun. Dengan psueudopenis ia lebih dari pejantan tangguh. Petarung handal.

"Seperti The Lion King, Yah?" Ibra kecilku bertanya dengan sepasang mata polosnya saat aku sibuk melumat mimpi dalam bibir wisky tentang hyena betinaku.

"Berhentilah bermimpi dan bekerjalah, Haidar!"

Bentak istriku ketika aku memilin imaji tanpa tepi. Jika aku begitu menyebalkan mengapa dia masih bertahan denganku?

Membanding-bandingkanku dengan Abiyasa yang trahnya memang sultan. Ingin hidup seperti Nabilla yang bahkan jungkir balik merawat ODGJ. Yang dia tahu hanya kehidupan glamour teman-temannya di medsos. Yang sibuk cari validasi dan takut tereliminasi dari panggung ketenaran. Tak sadar dia siapa dan aku siapa?

Salahkan jika aku terus memuja hyena betinaku? Mereka mengutukiku dan menghina habis-habisan pelakor. Mencaci-maki perempuan kedua. Jawablah wahai para manusia yang merasa mulia? Adakah seorang pria yang rela menukar pasangan halalnya dengan seseorang yang dianggap kerak neraka jika ia dianggap berharga? Tak ada. Tak pernah ada. Yang halal itu pasti lebih indah. Tapi jadi tak berguna saat nafsu duniawi merajai.

Istri mana yang mau hidup susah? Aku tertawa miris dengan protes yang menggema di kepala. Hidup susah versi siapa? Gaya hidup tak qona'ah adalah jawabannya.

Sahabat paling sunyi adalah pulau bantal di mana aku bisa rebah tanpa kata dan mata basah.

Guling sudah bosan menemaniku menungging sepi. Guling juga memarahi kasur yang bungkam kehabisan lakon. Gulingpun memarahi sprei yang tak lagi menguarkan aroma pewangi kain.

Aku mencintai guling dalam sunyi. Ia membiarkan aku bergumul dengan laju napas terhempas.

"Haidar," sebuah bisikan menghentikan pergumulanku dengan guling. Aku mendongak dengan rupa terkejut. Sahabat mutanku. Pemakan segala. Ia pernah makan satu set radio tuaku.

"Pedro? Kamu teleportasi kemari?" tanyaku dengan ekspresi bego. Kalian ingin tahu seperti apa Pedro? Lelaki biasa berusia empat puluh tahunan. Memakai kemeja kotak-kotak ala swedia. Memakai celana cutbray warna navy. Dan wajahnya seperti Mr. Bean.

Matanya yang coklat terang jelalatan menjamahi televisi tua di kamar Rosmery. Buru-buru aku menutupinya dengan kaosku. Jangan sampai ia tergiur untuk melahapnya.

"Sayang ... Aku ketemuan sama Nabilla. Makanan sudah siap di meja!" Teriakan Rosmery membuat Pedro hilang seketika. Aku mengiyakan sambil kebingungan mencarinya. Di kolong ranjang tak ada. Di balik pintu tak ada. Aku meneriakinya saat yakin langkah kaki Rosmery sudah pergi.

𝔼𝕊𝕋𝔸𝔽𝔼𝕋 𝕋𝕆𝕏𝕀ℂ ( ℍ𝕚𝕒𝕥𝕦𝕤 )जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें