PART 2. TELEPORTASI? ( TENTANG ERLANGGA )

115 28 21
                                    

*2.
.
.
(A/n. Sebagian isi part ini fiktif. Tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Bijaklah dalam membaca dan menyikapi)

.
.

Indonesia
.
.

Erlangga adalah sebuah ironi, mencoba masuk dalam dimensi family yang seperti tak ia miliki. Efek domino dari ayah yang jarang bekerja dan hidup dengan gaya hedonisme, ayah memiliki pandangan hidup yang berfokus pada kesenangan pribadi dan kepuasan tanpa batas. Apa lagi yang bisa di lakukan jika di luar kemampuan? Tentu dengan menghalalkan segala cara. Jalan pintas, pinjam sana sini. Termasuk terjebak dalam labirin pinjaman online. Judi. Tipu sana-sini.

Erlangga dan keluarga sudah kenyang dengan dampratan orang, sumpah serapah kotor, caci-maki, sampai di laporkan polisi.

Semua itu membuatnya seperti anak kecil tak berdaya yang harus menyeret karung beban di luar kemampuannya.

Dengan tubuh yang lelah Erlangga seret langkah memasuki rumah. Sebenarnya ia sama dengan Risa, tidak merasakan ini sebagai rumah.

Bahkan ia lupa kapan terakhir melihat koleksi bunga ibunya yang bercampur belukar subur. Tak terurus karena sibuk berbaur dengan dapur.

Dapur yang menjadi tolak ukur standar perut keluarganya. Dari cateringan yang di terima ibunya. Jika sepi, maka tak ada lagi yang tersaji. Meja makan akan tetap rapi. Tanpa isi.

Saat menapaki teras, terbias cahaya temaram. Dalam buram sesosok tubuh terseok beraroma wisky. Mencekik botol. Berkata-kata dengan tol*l.

"Hai, Adikku..." sapa Haidar sang kakak, terhuyung hampir menubruk Erlangga yang memarkir motornya di teras samping. Aman meski tak masuk rumah. Karena gerbang karatan rumah warisan kakek masih cukup kuat dengan kunci gemboknya. Tak mudah di bobol maling. Lagian, maling mana yang mau dengan motor butut?

"Kau tahu? Aku baru saja pulang dari telaga Ainun Hayat. Dan meneguk airnya, aku akan panjang umur, tak bisa di bunuh uzur."

Erlangga menghela napas, tidak menanggapi. Ini hampir tengah malam. Telaga Ainun Hayat adalah telaga air keabadian yang keberadaannya masih misterius. Katanya juga di jaga nabi Khidir AS. Katanya juga ada di pulau Bermuda.

"Dan kamu tahu, Lang? Dajjal pernah minum di sana makanya dia hidup sampai sekarang."

Erlangga geleng-geleng kepala dengan batin perih sekaligus geli.

"Trus mas juga ke tembok Yajuj dan Ma'juj yang di bangun raja Zulkarnain?"

Erlangga menimpali sambil masuk rumah lewat pintu samping. Tak didengar lagi tanggapan ngaco sang kakak yang dalam pengaruh alkohol.

"Assalamu'alaikum."

Ia mengucap salam dan melihat ibunya masih sibuk di dapur.

"Wa'alaikumsalam," jawab ibu datar. Tangannya masih sibuk menyabuni perabot kotor. Suaranya khas saat berbenturan di westafel.

Mata mereka saling tatap beberapa jenak. Tapi tak terhubung. Entah kemana tatapan enak ibu yang dulu membuat nyaman. Untuk kemudian sibuk bergumul dengan kran buntu. Entah kemana kran air tersambung. Hingga air menggenang.

"Mampet kali, Bun," ucap Erlangga melihat air yang menggenang di antara barang-barang. Ia ambil slang berwarna hijau yang sengaja ia gantung dekat westafel. Ia ambil tumpukan perabot yang belum bersih, lalu ia masukkan slang dalam lobang pembuangan, ia dorong perlahan. Mungkin ada tulang ikan yang nyelip, atau sisa nasi yang terbawa.

Perempuan yang Erlangga panggil "bun" itu menatap putra keduanya dalam diam. Seragam karyawan sebuah mini market masih lengkap dengan namtag adalah indentitas yang pundi-pundinya membantu dapur tetap mengepul. Di tengah suami dan putra sulungnya yang berontak tumpul. Sibuk bergumul dengan mimpi yang tak bisa di bun*h m*ti.

𝔼𝕊𝕋𝔸𝔽𝔼𝕋 𝕋𝕆𝕏𝕀ℂ ( ℍ𝕚𝕒𝕥𝕦𝕤 )Where stories live. Discover now