PART 3. AHLI PEDANG VS KAPAS

124 28 15
                                    

*3.

Indonesia
.
.
( A/n. Isi part ini fiksi. Jika ada kesamaan nama, tempat, nama universitas, kejadian itu murni kebetulan.

Semua imajinasi murni untuk literasi. Tidak bermaksud menyinggung siapapun dan pihak manapun).

.
.

Antrean di sebuah SPBU mengular panjang, bak naga besar yang menguar kehausan dalam kerakusan liberalisme.

Entah tatakelona yang kurang dibenahi dan berlindung di balik beratnya subsidi, ataukah memang tak ada jalan lain lagi.

Entah tongkat sihir apa yang diayunkan hingga berduyun-duyun, bermotor-motor, bermobil-mobil seperti labil mengikuti arus pemerintah. Mungkin karena kita hanyalah rakyat jelata.

Di tengah sang penguasa yang sibuk menampik ironi dengan beribu alibi. Erlangga bersenandung geli di atas motornya. Di belakang boncengan motornya Sharla berusaha memaklumi.

"Apa hasil demo kami kemarin, Sha? Zero," ucap Erlangga sambil berguman geli. Tertawa sendiri. Orasi, spanduk-spanduk berisi jeritan hati. Apakah mampu mengubah harga? Tak! Kenaikan tetap tak terelak.

"Ketahanan ekonomi kita sedang dalam gempuran liberalisme, Lang. Gak usah ikut campur.

Pemerintah sudah berjuang dengan berbagai cara untuk meringankan beban kita."

Jelas Sharla lirih. Selalu berusaha menanggapi dengan santai. Menatap antrean yang mengular. Diantara suara klakson dan sumpah serapah orang-orang yang tidak sabar.

"Harga-harga pada naik gini bisa-bisanya keluarga Anindira pengen aku segera khitbah," guman Erlangga, Sharla tertawa.

"Ya ... iyalah, anak orang kamu gantung. Emang jemuran?"

Fu*k!!
Erlangga ngakak sambil mengumpat. Ingat tutur bang Dewa.

"Masalah itu, kamu sendiri yang buat, Lang. Kamu berani pacaran ya udah resikonya disuruh ngelamar."

Dari kecil Erlangga juga tahu bahwa pacaran itu di larang agama, yang ada adalah ta'aruf lalu pernikahan.

Namun syetan mengaburkannya dalam zona nyaman, hingga kadang lupa jika hanya berteman.

Jatuh cinta adalah fitrah manusia. Bagaimana cara mengendalikannya? Menyimpannya dalam doa tanpa usaha?

"Kamu mau disesatkan labirin talbisu iblis,? Menampakkan keburukan serupa dengan kebaikan. Membawanya berputar-putar hingga kita terjebak dengan dalih usaha.

Usaha untuk mendapatkan jodoh yang layak. Dengan cara yang tak layak."

Lagi,
Terngiang tutur bang Dewa. Lalu apakah hanya dengan jalan ta'aruf kita bisa mendapatkan jodoh yang baik?

"Terlepas dari sisi religi. Jika aku di suruh milih, lebih milih calon pendamping dari orang yang sudah kita kenal dengan baik.

Entah itu sahabat atau teman. Karena kita tahu gimana dia, keluarganya. Bukan berarti kita menampik orang baru.

Tapi kita bisa meminimalisir resiko jika orang baru itu di kenalkan orang yang kita kenal dengan baik."

Lha? Anindira kan juga bukan orang baru? Tapi mengapa Erlangga masih ragu? Padahal ia kenal Anindira plus keluarga sejak dulu. Bukan dari pakai putih abu. Tapi dari pakai putih biru.

Apakah karena ada Sharla? Apakah karena kehadiran Sharla? Entahlah.

"Masalahnya aku dan Anindira tak pernah resiprokal," ucap Erlangga, memutus lamunannya sendiri atas semua kata-kata bang Dewa. Sharla hanya tertawa, resiprokal? Umpan balik? Hanya Erlangga yang merasa Sharla rasa. Tapi tidak Anindira. Perilaku submisifnya, yang menghalanginya untuk mengungkapkan pendapatnya. Sebenarnya bang Dewa sering menasehatinya agar berubah sedikit demi sedikit.

𝔼𝕊𝕋𝔸𝔽𝔼𝕋 𝕋𝕆𝕏𝕀ℂ ( ℍ𝕚𝕒𝕥𝕦𝕤 )जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें