10. Aksara Melankolia

49 9 2
                                    

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Harusnya saat itu aku segera pulang, Mengistirahatkan segala kelelahanku di ranjang kamar.
Tidak terlalu lama bercengkerama denganmu, duduk melingkar untuk menghabiskan seporsi lotis, satu toples makaroni, juga satu cerek es teh.

Namun aku harus terdampar dalam beberapa tawa yang sulit aku tinggalkan.
Tawamu yang bercampur dengan riuh kawan-kawan seperjuangan kita,
Leluconmu yang dingin justru nyaris membuat suasana menghangat oleh tawa.
Tapi, sekali lagi.
Harusnya aku tidak berlama-lama untuk menikmatinya.
Sebab di sepersekian waktu setelahnya, aku harus menerima gejolak yang berperang di dalam dada.

Dia, yang kata banyak orang adalah perempuan yang kau cintai berkali-kali, meski juga harus sakit berkali-kali, bergelayut manja di pundakmu. Datang padamu seolah mengenalkan diri pada orang-orang bahwa dia dengan dirimu saling memiliki.

_Rens_

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

"Mampir ke rumah nggak? Ibuk masak banyak tadi kayaknya, hmm? Atau jajan aja?"

"Masak apa emang?"

"Nggak tahu, aku nggak makan di rumah tadi soalnya."

"Pulang aja dulu, ya? Pamitan, abis tu jajan keluar."

"Emhhh. Langsung jajan aja. Pengen ayam geprek yang waktu itu. Apa mekdi lagi aja?"

Rensa mendengar seluruh percakapan dua manusia di sebelahnya itu. Sejak dimulainya percakapan tentang rasa lotis, hingga topik antara jajan atau makan di rumah bisa didengar olehnya. Rensa tak bisa berkutik, posisinya yang tidak menguntungkan harus berada pas di sebelah mereka berdua.
Meski sedikit kesal dan sesak, Rensa mencoba tenang dalam situasi itu, menimpali candaan teman-temannya yang lain, meski tawanya begitu terpaksakan.

"Pacaran mulu elo, Jun. Pindah sono! Ngrusak pemandangan aja elo berdua! Empati dikit kek ama sebelahnya."

Entah siapa yang mengatakannya, hal itu spontan membuat Rensa terkejut, matanya menangkap sorot dari kedua orang di sebelahnya yang sudah menatap dengan penasaran.

"Kenapa jadi aku? Ngobrol mah ngobrol aja!" Jawab Rensa mencoba tidak peduli.

"Nahkan, elo aja, Dhim, yang sewot!"

Suara perempuan di sebelahnya itu cukup memancing rasa kesal untuk di dengar, seakan tidak paham tempat dan situasi, plilihan katanya sangat tidak nyaman untuk dia dengar. Maka detik itu pula, Rensa melenggang meninggalkan kerumunan lotis itu.

"Kemana, Sa?!"

"Sholat!!!"

Alasan yang cukup meyakinkan untuk menghindari hatinya yang gerah dan bergejolak.
Cemburu? Rasanya tidak pantas. Sebab dia telah berjanji tidak mengotori perasaannya dengan segala bentuk rasa lain, entah iri, dengki, cemburu, atau apalah itu namanya.

"Rasa kasih sayang dan cinta itu tidak akan beriringan dan bercampur dengan rasa cemburu. Kalau masih ada yang seperti itu, berhentilah. Karena itu akan menyakiti, entah dirimu atau orang lain."

Begitu pesan yang Rensa terus yakini sampai saat ini. Kenyataannya memang begitu, kalau dirinya membiarkan perasaan cemburu berkembang subur, maka perasaan tulusnya itu sudah tidak lagi murni dan baik, karena...

Yang lahir dari rasa iri, dengki, dan cemburu adalah hal-hal negatif dan puncaknya adalah berpengaruh buruk pada banyak orang.

"Dahlah, mending wifi-an aja di sini."
Ucap Rensa menyenderkan punggungnya di tembok masjid, lalu mengeluarkan benda pipih dari kantong rok abu-abunya.

Aksara Untuk ArjunaWhere stories live. Discover now