Bocah Dewasa

19 3 7
                                    

Kali ini tidak ada yang bisa mengambil alih separuh hidupnya lagi, ketakutan itu muncul mengambil alih raga yang telah belia kembali menjadi seperti bocah 6 tahun yang kehilangan seluruh mainannya.
Berbohong itu bukan keahliannya, tetapi menyembunyikan apa yang dirasakan adalah kehebatan yang sudah biasa dilakukannya. Sejak dulu, bahkan sejak banyak yang hilang dari masa kecilnya.

Rensa sudah bisa menebak keanehan yang terjadi, sebab perasaannya seolah mengatakan ada yang tidak beres dan sedang disembunyikan oleh kakak sepupunya. Sepanjang jalan dia hanya diam, sambil menerka kiranya apa yang tengah terjadi di rumah sehingga harus disembunyikan darinya, atau sedang terjadi apa sehingga dirinya tidak boleh tahu. Rensa memang diam, tapi kepalanya berisik hingga apapun yang dirasa, dilihat, dan dilewatinya tidak membuatnya tersadar pada realita.

Tepat ketika motor yang membawa dirinya masuk pekarangan, halaman dan teras rumahnya sudah ada kerumunan. Rensa masih mampu menyembunyikan gemuruh resah dan gelisahnya, merangkai kemungkinan yang ada menjadi pikiran yang tetap positif. Motor ayahnya ada di rumah, aman.
Tidak ada tangisan atau wajah duka, masih aman. Tapi semuanya diam ketika langkahnya melewati teras rumah bahkan tak ada sapaan juga.

Kenapa? Ada apa?
Rensa menelisik seluruh isi rumah dan ruangan, sepi dan tiada orang. Sampai akhirnya sosok laki-laki keluar dengan setelan yang rapi dari kamar mandi.

"Ganti baju, kita susul bapak ke rumah sakit."
Demi apapun Rensa hanya bisa terkejut dalam keheningan, tercekat tanpa mengungkapkan apapun sampai yang pecah adalah air matanya, langsung deras tanpa aba-aba selanjutnya bagai kerasukkan setan dari mana, dia melempar tas, melepas sepatu dan melemparnya ke sembarang arah.
Raungan dengan tangisan, bahkan pelukan yang entah dari siapa tidak membuat Rensa merasa tenang.

"Eh, eh, eh. Sabar, Nak. Sabar. Bapak tuh nggak apa-apa. Ayo dijenguk dulu, jangan nangis. Doanya hayoo, anak sholihah harus berdoa jangan nangis gini hayo."

Rensa hanya tidak mau dan belum mampu menerima, dia belum selesai atas duka terakhirnya, meski sudah berlalu puluhan tahun tapi nyerinya tidak pernah reda dan sembuh, Rensa menangis dalam sesak dadaknya. Tidak mau, dan jangan untuk yang kali ini.

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Kematian itu pasti.
Kehilangan itu juga sama, dia sifatnya pasti.
Kadang jika dibumbui penyesalan akan lebih menyakitkan.

Dulu mungkin aku boleh menangis keras-keras, lantang dan kencang sebab aku masih bocah.
Tapi ternyata aku juga tidak bisa menangis, sebab aku tidak mengerti bagaimana menerima alur kesedihan.

Kini, ketika semua hal menyedihkan muncul di depanku aku semakin bingung. Jika menangis meraung-raung, aku sudah dianggap tidak bijak.
Padahal mereka dan bahkan semua orang mempersilakan aku untuk menangis.

Jadi, kesedihan mana yang boleh aku tangisi?
Jadi, kesedihan mana yang wajar untuk disebut duka?
Saat aku kehilangan ibuku?
Saat aku kehilangan jantungku?
Atau saat aku kehilangan rasa tenangku?

_Rens_

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Masih dengan seragamnya, Rensa duduk di samping ranjang tempat ayahnya terbaring menahan sakit. Dengan cerita yang sudah didengarnya Rensa merasa bahwa Tuhan masih menyanyanginya, pun juga menyayangi ayahnya.
Meski pada akhirnya Rensa harus menyaksikan rintihan dan kesakitan ayahnya tapi dengan menahan tangis Rensa berterima kasih sebab masih bisa melihat ayahnya membuka mata dan mengucapkan rapalan-rapalan dzikir.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Sep 05, 2023 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Aksara Untuk ArjunaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora