Pada Kita, Ada Antara

19 4 8
                                    

Rensa menyisir pandangan di sekitar, netranya tidak lepas pada tangan kawan-kawannya yang lihai menguasai bola basket, berharap dia juga sama bisa menguasai bola itu dan mencetak poin di ring, nggak perlu jago tapi cukup untuk membuat nilai PENJASEKESnya tidak buruk-buruk amat di raport nanti.

"Kelihatannya mudah, tapi itu benar-benar membuat lelah. Nampaknya bisa dikendalikan lajunya, ternyata arahnya selalu tidak terduga."

Rensa merenungi isi pikirannya itu sambil menelan saliva yang muncul sebab rasa letih yang tiada tandingnya. Jika saja lelahnya berhasil mencetak poin sekedar poin minimal saja maka tidak menjadi keberatan. Pasalnya dengan target 20 poin Rensa hanya mampu mencetak separuhnya, bahkan setelah beberapa kesempatan percobaan hanya mencetak maksimal 16 poin. Payah.

Rensa memandang gemas ring basket yang akan menjadi musuhnya sepanjang sejarah, menatap penuh nyalang bola yang selalu tidak mau rukun dengan jemarinya. Mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa, yang telah dikuras setengah jam lalu demi poin-poin cetakan di ring.
Entahlah, dia hanya akan pasrah saja ketika ujian prakteknya nanti harus diganti ujian materi atau remidial lagi. Dia sudah berpasrah dalam suntikan napasnya. Lelah.

"Nggapapa, Ren. Ujian teori juga nggak buruk-buruk amat." Hibur Ilma meletakkan tangannya di pundak.

"Ngafalinnya itu, kemusuhan aku sama penjaskes!"

Bagaiamanapun sudah sejak duduk di bangku SD juga Rensa sudah membenci pelajaran olahraga, penjaskes, atau apalah namanya itu. Jika teman-temannya menjadikan Penjaskes mata pelajaran favorit, Rensa akan menambahkan Penjaskes dalam deretan mata pelajaran yang akan dia benci, bersama matematika dan fisik juga kimia. Pokoknya Rensa membenci mata pelajaran angka dan perhitungan serta rumus-rumus.
Jika ada yang memprotesnya perihal dia membenci mata pelajaran tersebut tapi malah masuk jurusan kelas IPA Unggulan maka anggap saja Rensa adalah siswi tersesat, salah jurusan, atau hanya sedang hoki karena lulus tes jurusan.

Rensa menenggak air minum yang dia simpan di laci meja, merebahkan diri dan meletakkan kepalanya di meja menikmati tiupan AC kelas yang dirasa tidak punya pengaruh sama sekali kecuali menambah hawa panas.
Mau tidak mau Rensa bangkit untuk segera mengganti seragam olahrga, meski begitu malas.

###

"Setiap ku melihatmu, ku terasa di hati,
Kau punya segalanya yang aku impikan,
Dan anganku tak henti, bersajak tentang bayangmu,
Walau kutahu, kau tak pernah anggap ku ada..."

"Ku tak bisa menggapaimu, takkan pernah bisa,
Walau sudah letih aku, tak mungkin lepas lagi,
Kau hanya mimpi bagiku, tak mungkin jadi nyata,
Dan segala rasa buatmu, harus padam dan berakhir...."

Rensa disambut dengan petikan gitar dan suara sember teman laki-laki kelasnya yang sudah berkaraoke ria di sela-sela bau keringat yang membuat penjuru kelas terasa seperti sekumpulan ikan pindang yang sudah basi, dicampur wangi kembang aneka warna yang begitu menggelitik telinga.
Belum juga jajanan atau bekal makanan yang ikut meramaikan.
Sudah biasa, tapi masih sering membuat penghuni kelas ini adu argumen.

"Fidz! Pake dulu tho bajunya. Bauknya ituloh astagaaaaa!"
Omelan itu hanya dibalas nyanyian yang tak kalah tinggi nadanya oleh sang empunya, dengan telanjang dada justru membuat kedua teman laki-laki kelasnya itu berasa konser tunggal.

"Hapidddd!

"Aposehh?! Ganggu ae ilo...!"

"Ganti o bajukmu, baunya itu lho, Masyaaallah. Agung juga itu dipake bajune. Kayak enak aja nyanyinya!"

Menyerah, kedua laki-laki itu berhenti bernyanyi dan berjalan gontai keluar kelas. Menyisakan hening yang dinaungi oleh lagu mellow dari hape yang kedua laki-laki itu tinggalkan.
Lagu yang tidak asing akhir-akhir ini...

Aksara Untuk ArjunaWhere stories live. Discover now