Di Angka 7 Untuk 17

42 6 3
                                    

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

/7 Mei 2017/

Selamat menua dan berkurang usia, untukku...
Tak ada cita-cita indah lain kecuali keinginanku untuk meninggalkan yang buruk dan meraih yang baik.
Tak ada juga keinginan yang lebih tinggi, kecuali langkah yang semakin kokoh dalam memperjuangkan mimpi dari diri sendiri.

Jika ditanya pada berapa persen kegagalan yang membuat galau, jawabannya adalah 'banyak'.
Tapi tidak untuk menyesalinya.

17 tahun itu masih muda, wajar jika banyak yang gagal.
17 tahun itu sudah tua, karena sudah banyak salah yang menghinggapi kita.
17 tahun itu hanya angka, yang katanya cuma simbolis saja.
17 tahun itu adalah usia, yang ternyata menyimpan tanya, 'sudah sampai mana dan untuk apa?'

17 tahun, satu di depan angka 7.
Satu  lagi kesempatan,
Satu  lagi pembenahan,
Satu lagi usaha untuk mencari keselamatan.

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Kali ini Rensa benar-benar tenggelam dalam dunianya sendiri, saat netranya merekam pemandangan sepanjang perjalanan. Pandangannya terus mengarah pada pematangan sawah dan pegunungan. Menikmati sendiri kenikmatan yang dipersembahkan oleh alam, mencerna setiap inci yang masuk melalui netranya. Sama sekali tidak terusik oleh riuhnya obrolan di dalam mobil yang dia tumpangi, Rensa mendengarkannya, dia juga menyimak setiap apa yang orang-orang di dalam mobil itu katakan, tapi matanya tidak memperhatikan siapa yang berbicara, memilih melemparnya di pemandangan luar jendela mobil.

"Nak Rensa? Kok diem aja? Sariawan kah?"

Itu adalah suara ibunya Alam, yang turut berangkat mengikuti anak laki-lakinya melaksanakan bakti sosial. Suara lembut beliaulah yang membuat Rensa berhenti menikmati pemandangan di luar mobil.

"Ah, enggak kok, Bu. Memang lagi mode hemat energi saja..."

"Halah pake ada acara hemat energi segala..."

Rensa hanya bisa menimpali dengan senyum simpulnya, sangat kontras dengan sorot matanya.
Benar. Sorot mata Rensa jika ditilik lebih dalam seolah menjelaskan ada yang sangat ingin dia tumpahkan dari sana. Dari kedua netra itu dia ingin menumpahkan semuanya, semampu dan sepuasnya.

Pagi ini, sebelum berangkat menuju rumah Alam dia melewati jalanan yang mengarahkan perhatiannya pada area pemakaman umum dekat rumah. Dan itu  menyadarkan beberapa hal untuk Rensa.
Sudah 13 tahun lalu, ada kehilangan besar menghampiri Rensa kecil di usia 4 tahun.
Sudah 10 tahun lalu, ada yang hilang juga di kehidupan Rensa kecil di usia 7 tahun.
Dan kini, Rensa menyadari ternyata itu sudah lama terjadi, sudah lama berlalu dalam perjalanan hidupnya.

"Banyak yang merasa tidak menyangka aku masih berada di sini. Mereka menganggap kehidupanku kini adalah rangkaian takdir ditambah dengan keburuntungan. Apakah benar?"

Usia 4 tahun, sebuah vonis Jantung bocor sudah menyapanya.
Belum puas? Usia 7 tahun, wanita yang menghadirkan Rensa ke dunia, meninggalkan Rensa di dunia. Tentu saja seluruh kehilangan itu masih belum dia mengerti di usia saat itu.
Tinggal menangis saja jika dadanya sakit, atau jika obatnya terasa tidak enak, atau tentang kelelahan pada rangkaian pengobatan yang menyakitkan.
Apakah dia juga memang menangis saat keranda ibunya berada tepat di hadapannya? Tidak juga. Dia menangis karena mengikuti orang-orang di sekitarnya yang sedang menangis. Bukan menangis karena benar-benar merasakan kehilangan, dia tidak tahu kalau ibunya itu tidak akan kembali kepadanya. Selamanya.

Aksara Untuk ArjunaWhere stories live. Discover now