17. Impian

563 63 3
                                    

Rasa canggung menghiasi suasana Aksa dan Tara. Jujur saja, Tara tidak tau harus berbuat apa. Sebagai suami istri, sudah kewajiban Tara mencintai Aksa. Tetapi rasanya ia sulit untuk mulai membuka hati bahkan untuk suaminya sekalipun.

"Sekarang lo udah tau, kan? Kalo gue nggak sepenuhnya bersalah?"

"Tau, dan gue juga bukan bagian dari Blaxton." jawab Tara. Mereka berdua kini sedang jalan-jalan memutari kota menggunakan sepeda. Angin semilir menerpa paras rupawan keduanya.

Aksa dan Tara memilih jalan setapak yang sepi agar percakapan mereka tidak terhalang bising sepanjang perjalanan.

"Iya, permusuhan kita cuma salah paham. Jadi mau ngga, kalo lo berusaha buat cinta sama gue?"

"Nggak tau. Lo sendiri? Lo cinta sama gue?"

Aksa menggeleng pelan, "Cinta gue buat lo ternyata udah ada bertahun-tahun lalu. Rasa itu sempet hilang, dan gue lagi berusaha buat ngembaliin lagi,"

"Lo juga usahain buat cinta sama gue ya? Kewajiban lo," sambung Aksa.

Tara mengernyit, "Kita baru ketemu sebulan lalu, dan lo bilang bertahun-tahun? Ngelantur?"

"Gue serius, nanti lama-lama juga lo sadar sendiri,"

Setelahnya tidak ada percakapan lagi. Semuanya terasa mimpi, tidak ada kata musuh lagi diantara mereka. Tara sesegera mungkin membuang jauh pikiran buruknya tentang Aksa.

"Kok ke danau?" tanya Tara bingung ketika Aksa berhenti di tepi danau. Ia pun turun dari boncengan sepeda Aksa.

"Tempat yang selalu gue datengin, kalo pikiran gue lagi kacau."

Mata Tara berbinar, danaunya begitu jernih. Tidak ada orang disana selain mereka berdua. Lantas, Aksa mengambil tikar dikeranjang sepeda lalu menggelarnya ditanah.

Aksa duduk ditikar, menepuk tempat disebelahnya. "Sini duduk,"

"Tempatnya sepi ya, Aksa." gumam Tara.

"Iya, enak banget kalo suasananya kaya gini. Rasanya damai,"

Tara mengulas senyum manis, hamparan danau dihadapan mereka sangatlah indah disertai dengan langit yang mulai berwarna jingga.

"Aksa, kok gue nggak pernah liat mama lo ya? Gue cuman pernah liat Papa Alfredo, selain itu gue belum liat lagi keluarga lo." ujar Tara memulai topik percakapan.

Senyum Aksa luntur seketika, raut wajahnya berubah sendu. Melihat perubahan yang terjadi wajah Aksa, tentu saja Tara peka.

"M-maaf, kalo lo nggak mau cerita ya ngga ap—"

"Gue bakal ceritain. Dengerin ya,"

"Gue anak tunggal, papa sama mama nikah karena dijodohin kaya kita. Dulu keluarga gue harmonis. Tapi lama-kelamaan, papa sama mama selalu berantem, mereka ribut soal perselingkuhan mama,"

"Papa gue orangnya tulus, setia, sayang banget sama mama. Tapi mama ternyata pilih mantannya, karena pas gue umur tiga tahun, mama ternyata lagi hamil anak mantannya."

"Akhirnya pas gue umur tujuh tahun, papa dan mama memutuskan cerai. Gue sedih, gue sayang sama mama, tapi mama buang gue dan akhirnya gue diasuh sama papa."

"Semenjak itu, gue nggak tau gimana kabar mama gue. Kayanya, mama pergi ke luar negeri sama selingkuhan beserta anaknya, gue tau hal ini juga diceritain papa pas udah masuk SMP. Dulu gue nggak paham mama sama papa berantem karena apa, dan kenapa mama bisa pergi."

Aksa mengusap sudut kelopaknya yang berair, ia terlalu terbawa suasana. Padahal Aksa sudah melupakan kejadian tentang ibunya tersebut.

Tara inisiatif mengusap punggung Aksa, "Lo kuat banget, diumur sekecil itu lo udah dikasih cobaan yang berat. Maaf ya gue bikin lo jadi keinget."

DEWANGGA Where stories live. Discover now