14

1K 87 5
                                    


.

.

.

Memandang padatnya kota Jakarta yang sudah Jaenar tinggalkan 15 tahun lamanya. Sedikit rasa rindu pada tanah airnya ini, apalagi dirinya mengingat saat saat remaja dulu. Saat saat dimana dirinya selalu membelah jalanan dengan kecepatan motor yang di atas rata-rata, menggoyangkan gelasnya yang berisi alkohol dan menghembuskan asap rokok ke udara. Semua Jaenar rindukan, namun sekarang kenangan yang ia buat dulu tidak mungkin akan terulang kembali.

Menatap kesamping dimana putranya juga melakukan hal yang sama dengannya, memandang padatnya kota ini dari balik kaca jendela mobil yang di kemudikan oleh Hendry- suami Dejun.

Semenjak ucapannya tempo hari Jiendra sama sekali tidak mengeluarkan suara kepadanya, hanya mengangguk dan menggeleng saja sebagai jawaban atas ucapan Jaenar.

.

Menatap bangunan rumah minimalis tempat ia di besarkan membuat jantung Jaenar berpacu lebih cepat, dia merindukannya dan ada rasa takut terbesit di hatinya. Menggandeng tangan putranya dan memasuki rumah yang di sambut oleh tatap Dejun.

"Na"

Jaenar mendekap erat tubuh Dejun, melepas rindu yang bersarang kepada pria manis yang selalu bersamanya bahkan dalam kandungan ini.

"Lo temuin Ayah sekarang, dia bener bener butuh lo"

Jaenar mengangguk, menghapus air matanya dan berjalan ke atas, di mana Ayahnya berbaring lemah di kamarnya.

"Jiendra?"

Jiendra tersenyum kaku melihat pria manis yang di hadapannya ini, yang ia ketahui adalah kembaran Papanya hanya saja mereka tidak identik.

"Jie istirahat dulu aja. Atau mau langsung ketemu kakek?" Ucap Dejun menghampiri Jiendra yang berdiri kaku. Belum terbiasa dengan keadaan sekarang.

"Istirahat dulu" ucap Jiendra yang dibalas anggukan oleh Dejun. Dan langsung mengajak Jiendra menuju kamar Jaenar dulu.

Jiendra melihat perut pria yang menyandang status sebagai Om-nya itu juga membesar. Oh ya Tuhan apa yang terjadi, mengapa dia dikelilingi oleh pria yang bisa mengandung, apakah dirinya juga bisa? Memikirkannya saja membuat Jiendra bergidik ngerih.

.

"Yah," Jaenar tersenyum menatap Ayahnya yang berbaring membaca buku dengan infus di tangannya.

"Wah udah pulang Na" Yudha tertawa simpul menunjukkan kerutan di pelipisnya namun tidak mengurangi wajah tampan Ayahnya.

"Belum" Jaenar terkekeh mengingat bagaimana Ayahnya dulu selalu menunggunya dan selalu menanyakan hal serupa seperti tadi saat Jaenar sampai rumah.

Jaenar memandang wajah Ayahnya, walaupun sudah tua tapi Masi terlihat jelas wajah gagah nan tampan milik seorang Yudha Pradipta.

"Maaf"

Menarik nafas beratnya, Jaenar membawa tangan Ayahnya yang terpasang jarum infus ke genggamannya. "Maaf karena Jaenar dulu suka gak nurut sama Ayah, maaf karena aku jarang dengerin omongan Ayah, maaf karena selama ini aku selalu jadi beban buat Ayah. Maaf karena ninggalin Ayah"

Air mata yang ia bendung sedari tadi lolos begitu saja. Rasa bersalah kepada Ayahnya meliputi dirinya, rasa bersalah karena selalu membuat Ayahnya marah kepadanya, dan rasa bersalah karena meninggalkan Ayahnya.

Yudha mengelus lembut Surai hitam milik putranya yang kini sudah tumbuh menjadi pria dewasa, bukan lagi seorang remaja yang suka pulang tengah malam dengan cara mengendap-endap. Putranya yang sekarang sudah menjadi seorang Ayah, putranya yang bisa hidup mandiri di negri orang selama tahun tahun lamanya, putranya yang selalu terlihat baik-baik saja namun aslinya tidaklah seperti ini.

Love mistake || NOMIN Where stories live. Discover now