22

1K 64 1
                                    

HAPPY READING GAYS♥️










.

.




Jaenar memandang kediaman milik Jovan dengan tangan yang mendadak menjadi dingin. Ntahlah hawa disekitar sini sungguh mencengkram.

"Ayo masuk" Jovan mengandeng tangan kecil milik Jaenar dan melangkah masuk kedalam rumahnya.

Mewah, satu kata yang pertama kali terlintas di otaknya saat melihat interior rumah milik keluarga Renandra ini. Rumah yang di desain seperti istana Eropa, namun lebih minimalis yang dapat menambahkan kesan mewah tersendiri.

Bisa dikatakan Jaenar norak. Tapi seumur hidupnya jadi orang kaya tetap saja ia belum pernah melihat rumah semewah ini. Rumahnya sendiri, eh tidak maksudnya rumah keluarganya hanya dua lantai dengan desain minimalis biasa. Tapi rumah Jovan ini seperti istana, jangan lupakan juga bahwa rumah ini memiliki lift.

Intensif Jaenar teralihkan saat melihat seseorang yang duduk menyandar si sofa dengan kaos hitam rumahan. Jika di lihat dari belakang seperti ini, terlihat belio itu orang yang gagah. Terlihat dari bahu bidangnya.

"Pa" Jovan berseru memanggil papanya yang masi sibuk dengan laptop di pangkuannya.

Pria setengah baya itu memutar kepalanya dan melihat putranya yang berdiri tak jauh darinya, dan juga seorang pria manis berkulit putih yang tersenyum padanya.

"Duduk sini" Januar mempersilahkan putranya dan calon menantunya untuk duduk.

Awalnya Jaenar gugup, namun saat duduk berhadapan dengan pria dengan kaos hitam polos dan jangan lupakan otot pria yang di panggil papa oleh Jovan itu sunggu tercetak jelas. Memang Masi lebih besar otot bisep milik Jovan, tapi percayala pria setengah baya ini juga memiliki wajah yang tampan dengan rahang tegas dan juga lesung pipi.

Jika Jaenar boleh meminta, mungkin ia akan memilih menikah dengan pria ini, eh. Jaenar menggelengkan kepalanya menghapus pikiran gila yang ada di otaknya. Bisa bisanya ia berfikir seperti itu kepada papa mertuanya, calon maksudnya.

"Jaenar Pradipta?"

Jaenar mengangguk saat pria di hadapannya memanggil lengkap namanya.

"Kamu putranya Yuda? Kok gak mirip"

Jaenar menggaruk tengkuknya, memang dirinya dan Ayahnya itu tidak ada mirip miripnya. Hanya sifatnya saja yang mirip.

"Kamu cenderung mirip Wildan. Manis" ucap Januar tersenyum kearahnya.

Sungguh dirinya gugup apalagi melihat senyum pria itu, ya Tuhan apa apaan ini.

Januar menyesap kopi hitam di hadapannya dan menaruh laptop yang ia pangku tadi ke meja di hadapannya. Setelah selesai menyesap kopi, Januar menghembuskan nafasnya.

"Maafkan saya" 

Kalimat singkat yang lolos begitu saja dari mulut Januar membuat Jaenar mengeryitkan keningnya, menatap kesamping, kearah dimana Jovan duduk.

"Karena saya yang tidak membiarkan Jovan bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia perbuat"

"Kenangan masala lalu yang seperti kaset rusak melintas ke kepala saya saat mendengar kabar bahwa kamu mengandung cucu pertama saya."

Jaenar tak mampu berkata-kata, pria ini memang salah. Salah karena tidak membiarkan putranya bertanggung jawab dengan apa yang di perbuat. Dan pria ini juga tidak sepenuhnya salah. Hal itu membuat Jaenar tidak tau harus merespon seperti apa.

"Semuanya sudah berlalu. Tidak perlu meminta maaf, biarkan yang lalu berlalu tuan Renandra" Jaenar buka suara.

Ia bingung harus memanggil apa kepada Ayah Jovan. Ia masi sangat gugup.

Love mistake || NOMIN Where stories live. Discover now