Part 3

57 12 0
                                    

Pukul empat sore Rasmi baru keluar dari tempat kerjanya. Ia menghentikan angkutan umum agar ia lekas bisa sampai di rumahnya. Ia tak pernah malu menaiki angkutan umum, sebab memang hanya angkutan umumlah yang tarifnya bisa ia jangkau. Apalagi ia juga belum mendapatkan gaji dari hasil kerjany yang memang baru satu hari ini.

Angkutan umum yang ia tumpangi berhenti cukup jauh dari pojok gang rumahnya. Setelah itu ia masih harus berjalan kaki sekitar satu kilo meter.

Rasmi berjalan santai menuju rumahnya. Sepanjang jalan ia berpapasan dengan cukup banyak orang, namun tak satupun dari mereka yang menyapanya. Ia tinggal di perumahan sederhana yang di antara tetangga satu dengan yang lainnya kurang bisa bersosialisasi. Kebanyakan dari warga yang menghuni perumahan ini adalah pekerja yang pergi pagi pulang larut. Kebetulan satu deret rumah yang salah satunya dihuni olehnya ini berhadapan dengan tembok tinggi yang membatasi antara wilayah perumahan sederhana dengan perumahan elit. Dengan begitu dirinya tak memilik tetangga depan rumah. Beruntungnya lagi tetangganya tak ada yang pernah menegurnya saat membawa Danur menginap. Entah tetangganya itu tak ingin terlalu ikut campur atau tak ingin perduli.

Tak terasa kini Rasmi sudah sampai di rumah kontrakannya. Ia mengambil kunci dari dalam tasnya lalu membuka pintunya. Tak lupa sebelum menutup pintunya kembali, ia mencabut anak kuncinya dan memindahkan anak kunci itu di lubang kunci daun pintu bagian dalam. Tinggal sendirian ia harus ekstra hati-hati, apalagi dirinya adalah seorang wanita. Hal itulah salah satu penyebab Danur enggan meninggalkan dirinya tinggal sendirian di rumah ini. Kekasihnya itu selalu memikirkan keselamatannya. Beruntungnya dirinya ini memilik kekasih seperti Danur.

Setelah mengunci pintu rumahnya, Rasmi langsung berjalan menuju dapur. Berjalan dari tempat ia turun dari angkutan umum hingga sampai rumah ternyata cukup membuatnya lelah dan membuat kerongkongannya mengering. Ia menuang air mineral dingin ke dalam gelas. Selesai membasahi kerongkongannya, ia lalu berjalan menuju ke kamarnya.

Saat duduk di pinggiran ranjang, Rasmi mencari-cari ponselnya dari dalam tasnya. Ia ingat seharian ini ia tak mengecek benda berbentuk pipih itu.

"Aahh ... ternyata ponselku mati! Aku lupa menghidupkan kembali saat jam istirahat tadi." Rasmi segera menekan tombol untuk mengaktifkan ponselnya.

Selang beberapa saat kemudian banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Danur yang masuk ke notifikasi ponselnya.

"Pasti Danur cemas banget nunggu kabar dari aku." Rasmi mencoba menghubungi Danur. Tak perlu menunggu lama, sambungan telponnya sudah tersambung.

"Halo, Sayang ...."

"Sayang, maaf ya tadi aku lupa aktifkan ponsel setelah wawancara," ucap Rasmi.

"Nggak masalah, Sayang. Oh iya, gimana wawancara kamu hari ini?" tanya Danur.

Rasmi tetap tersenyum meski Danur tak bisa melihat senyumannya. Aku udah keterima kerja, Sayang!" seru Rasmi antusias.

"Benarkah?! Syukurlah ...." Danur pun ikut senang dengan kabar yang Rasmi berikan itu.

"Kamu pulang ke sini apa enggak? Aku mau masakin makanan kesukaan kamu buat rayain hari pertama aku kerja," ucap Rasmi dengan nada suaranya yang terdengar sangat bahagia.

"Ya udah, bentar lagi aku pulang. Sampai jumpa di rumah. I love you." Danur memberikan kecupan dari sambungan telponnya. Hal itu tentu saja membuat Rasmi semakin melebarkan senyumannya.

Rasmi matikan sambungan telponnya tanpa ingin menjawab ucapan cinta dari Danur. Menurutnya apa yang ia lakukan selama ini bersama Danur jauh melebihi ungkapan cinta. Meskipun begitu ia tak menampik jika ia juga sangat senang bila Danur sering mengucapkan kalimat cinta.

DanuRasmiOù les histoires vivent. Découvrez maintenant