Chapter Empat Puluh Tiga

16.8K 1.5K 96
                                    

Katanya, badai akan cepat berlalu. Akan ada pelangi setelah hujan, kebahagiaan akan datang setelah kesedihan. Nyatanya?

Alodie merasa jika luka dan air matanya berkepanjangan. Sedangkan kebahagiaan hanya terasa selintas saja. Salahkah jika Alodie kadang merasa kalau hidup itu tidak adil? Ia iri melihat orang-orang yang kisah hidupnya begitu sempurna. Keluarga harmonis, kisah percintaan yang berjalan mulus. Tidak dengan dirinya.

Ia sudah kehilangan rumah sekaligus cinta pertamanya. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berteduh setelah hujan badai, yang seharusnya memberikan ketenangan dan kedamaian. Bukan justru menjadi neraka dunia baginya. Alodie lelah, tapi ia tidak tahu harus berpulang kemana. Rumahnya sudah benar-benar hancur tak bersisa.

Alodie berdesis dengan gigi bergemeletuk saat merasakan hembusan angin yang menusuk pori-pori kulitnya. Ia mengusap kedua telapak tangannya yang mulai mengeriput, padahal tubuhnya sudah berbalut hoodie hitam. Hoodie milik Alter yang masih berada padanya, belum sempat ia kembalikan.

Pagi ini langit masih mendung dengan rintikan hujan yang tiada henti sedari semalam, belum lagi hembusan angin yang lumayan kencang. Sudah dipastikan Ibukota yang biasanya dengan cuaca panas, kini serasa musim dingin.

Alodie berdecak seraya mengusap sisa-sisa tetesan air hujan yang berada di tubuh dan rambutnya. Seharusnya ia tidak nekat berlari dari halte bus menuju koridor sekolah yang jaraknya sangat jauh, atau tidak melupakan payung yang diberikan oleh bi Sumi. Sehingga dirinya harus berakhir dengan pakaian setengah basah, untungnya hoodie milik Alter membuat tubuhnya tetap hangat dan hanya tangannya saja yang kedinginan.

Gadis itu menutup kepalanya dengan tudung hoodie sebelum melangkahkan kakinya menuju ruang kelas. Namun, langkah Alodie terhenti saat sekilas melihat Alter dikejauhan.

"Al!" Alodie berteriak seraya berusaha menyusul langkah Alter yang semakin menjauh.

"Alter!"

"Alter tunggu!"

Alodie mendengus saat sosok Alter semakin menjauh dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan panggilannya.

"Kenapa dia aneh banget," gumam Alodie.

"Hayoo ngapain?!"

Plak

"Ihh Odie! Kok tangan gue ditabok?" ujar Gaby dengan memanyunkan bibirnya.

Alodie memutar bola mata, "Siapa suruh ngagetin."

"Emang lo kaget?"

"Nggak."

"Ck. Tuh kan! Emang dasar lo-nya aja yang doyan nyiksa gu—Odie kok gue ditinggal?!" teriak Gaby seraya berusaha menyusul langkah Alodie.

Keduanya melangkah beriringan menuju kelas mereka. Dikarenakan hujan di pagi hari, teman-teman mereka telat datang. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi, tapi yang datang hanya satu dua orang saja.

"Yah, hujannya ngga berhenti juga. Padahal gue mau upacara."

Alodie hanya terdiam seraya memandang tetesan air hujan di jendela. Untungnya setelah kejadian itu, ia libur sekolah selama dua hari. Sehingga legam di pipi dan bibirnya tidak begitu kentara. Ia tidak mungkin sekolah dengan keadaan yang mengenaskan dan terlihat sekali korban kekerasan. Alodie tidak suka dipandang dengan tatapan kasihan.

"Alahh, biasanya juga males panas-panasan," celetuk Dodi yang baru saja datang seraya melempar tas ke atas meja.

"Diem lo! Gue nggak ngomong sama lo," ujar Gaby sewot dengan mata melotot.

Dodi hanya menggedikkan bahu dan menghempaskan bokongnya di atas kursi, lantas menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan di atas meja. Ia benar-benar mengantuk karena bergadang hingga pukul 03.00 pagi untuk bermain game.

Alodie: The Queen Of Badness (END)Where stories live. Discover now