Chapter Dua

66.2K 4.8K 111
                                    

"Gue lebih suka jadi orang biasa, daripada jadi orang populer dengan menjual tampang, otak genius atau keahlian yang gue punya"

-Alter


***

Terdengar helaan nafas seorang pemuda dengan seragam sekolah yang berantakan dibalut dengan hoodie berwarna hitam yang sangat pas di tubuh tegapnya. Lelaki beralis tebal, rahang yang kokoh, hidung mancung, bibir berwarna pink alami, netra cokelat keemasan dan tatapan yang tajam, benar-benar ciptaan Tuhan yang sangat indah. Namun, wajah tampannya selalu tersembunyi dibalik topi hitam atau tudung hoodie yang selalu melekat di kepalanya.

Pemuda itu tengah asik mencoret-coret sesuatu di buku sketsanya dengan pensil HB, di dekatnya tergeletak sebuah penghapus dan beberapa spidol. Sesekali ia mengerutkan keningnya, membuat alis tebalnya ikut menyatu. Netra cokelat keemasanya yang tajam menatap fokus pada setiap detail lembaran sketsanya.

"Maz!"

Pemuda itu menghentikan aktivitasnya dan menatap kesal ke arah temannya yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya. Jika sudah berhubungan dengan gambar, pemuda itu akan lupa segala hal seolah pikirannya terpusat pada gambar itu dan melupakan dunia luar.

"Apaan? Berhenti panggil gue Maz! Lo pikir gue mas-mas jualan bakso?" ucapnya jengkel.

Lantas temannya itu terkekeh, "Nama lo kan Alterio Langit Dalmazio. Nggak salah doang gue panggil Maz dari kata Dalm--"

"Berisik!"

"Oke, oke. Lo tuh, gue cari kemana-mana taunya lagi pacaran sama alat-alat lukis lo--tapi gue baru tau kalau taman belakang sekolah bagus gini, padahal yang gue denger dari gosip yang beredar kalau taman ini serem," ucap temannya itu panjang lebar bahkan dalam satu tarikan nafas.

"Diem! Mulut lo berisik kayak cewek."

"Etdah! Lo tuh keseringan makan cabe, omongannya pedes amat. Jelaslah gue laki, lo meragukan gue? Mau gue liatin keperkasaan gue?"

"Najis lo!"

Pemuda itu mengernyit jijik melihat temannya yang sedang menatapnya dengan tatapan menggoda. Lalu matanya kembali fokus kepada buku sketsa yang ia tahan di tangan kiri dan pahanya dengan tangan kanannya memegang pensil. Awalnya ia membuat coretan yang benar-benar berantakan. Namun, lama kelamaan coretan itu membentuk sesuatu. Membuat temannya berdecak kagum, melihat lelaki itu yang begitu lihai dalam menggoreskan pensil, tinta, kuasa, dan cat.

"Al, lo tuh punya muka ganteng, otak pinter dan keahlian lo dalam menggambar itu nggak perlu diragukan. Kenapa lo nggak memanfaatkan itu buat jadi siswa populer? Gue jamin, lo bisa melebihi populernya pentolan sekolah kayak ketua OSIS, ketua basket, futsal atau--"

"Berisik! Gue tau gue ganteng, pinter dan lukisan gue keren-keren. Tapi, tunggu--jangan bilang kalau lo naksir gue?" Ucapan pemuda itu langsung membuat temannya mendelik.

Alodie: The Queen Of Badness (END)Where stories live. Discover now