Chapter Delapan

38.1K 3.1K 18
                                    

Pandangan mata Alodie kosong seolah kehilangan nyawanya bahkan saat Alter membawanya ke UKS, mengobati luka di sudut bibir dan lengannya yang terluka.

Alter menatap wajah gadis di depannya yang tatapan matanya terlihat kosong, ia menghela nafas pelan saat melihat mata bernetra abu-abu itu sarat akan luka yang mendalam. Ia merutuki dirinya dalam hati karena sedikit peduli pada gadis aneh itu ralat Alter itu bukan peduli tapi hanya kasihan saat gadis itu mendapat perlakuan buruk dari seorang laki-laki yang sudah seharusnya melindungi bukannya menyakiti seorang perempuan.

Mungkin jika Azka mendengar pikiran Alter, pasti temannya itu akan tertawa terbahak-bahak. Alter peduli terhadap orang lain itu mustahil. Bahkan mau jungkir balik atau sekarat pun Alter tidak akan peduli, sekalipun itu perempuan.

"Lo nggak papa?" tanya Alter.

"Mata lo buta? Nggak liat gue luka sampe berdarah-darah!" ucap Alodie dengan nada sinis.

Alter menghela nafas pelan mencoba menghilangkan emosinya yang seketika naik. Ternyata ia salah mengasihani orang, karena gadis itu tidak memerlukan belas kasihan dan justru mulutnya itu minta di lakban.

Rasanya ia menyesal sudah membantu gadis itu yang tidak tahu terima kasih, kenapa dia tidak biarkan saja ketua OSIS itu membuat bibir cewek aneh itu berdarah-darah sampai mulutnya itu tidak dapat mengeluarkan kata-kata pedasnya. Tidak tahu terima kasih sama sekali.

"Mulut lo tuh yah minta di lakban! Kenapa nggak gue biarin aja mulut lo ditabok biar nggak bisa ngomong sekalian?" kesal Alter.

"Kurang ajar mulut lo kalo ngomong! Jadi lo nggak ikhlas nolongin gue?" sewot Alodie.

"Kalo iyah kenapa? Lo tuh nggak tau terima kasih udah gue tolongin!"

"Emang gue minta pertolongan lo?" ucap Alodie yang langsung membuat Alter terdiam.

Alodie menyeringai saat laki-laki dihadapannya itu tidak bersuara, "See? Bahkan lo nggak bisa jawab pertanyaan gue."

"Nggak usah sok peduli!" ucap Alodie seraya meninggalkan Alter di UKS.

"Sial! Kayaknya gue udah gila," umpat Alter seraya pergi dari UKS.

Alodie melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 07.45 pagi yang artinya ia sudah terlambat masuk di jam pelajaran pertama selama 30 menit.

Namun, ia masih melangkahkan kakinya dengan santai sampai di depan pintu kelasnya yang terbuka. Menampilkan seorang wanita yang sudah terlihat tua tengah menyampaikan materi pelajaran dengan suara pelan. Wanita itu adalah guru mata pelajaran sejarah yang sudah hampir pensiun.

Alodie yakin bahwa hampir semua murid di kelasnya mati-matian menahan kantuk atau justru sudah tertidur. Karena pelajaran yang dianggap membosankan itu dijelaskan oleh seorang guru yang suaranya pelan seperti sedang mendongeng. Benar-benar murid tidak ada akhlak.

"Assalamu'alaikum ...," ucap Alodie seraya melangkah masuk dan mencium punggung tangan guru sejarah itu.

"Waalaikumsalam. Odie, kenapa baru masuk?"

Alodie tersenyum kaku mendengar suara lembut ibu Hartini. Biar bagaimana pun ia tidak bisa bersikap tidak sopan kepada ubu Hartini bukan karena gurunya itu sudah tua. Namun karena bu Hartini adalah guru yang paling baik dan tidak pernah marah yang justru kebaikannya ini membuat sebagian murid berlaku tidak sopan kepadanya.

Alodie: The Queen Of Badness (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt