Eliza terbangun karena haus, gadis itu meraih teko di atas nakas tempat tidurnya. Ternyata sudah kosong. Dengan mata yang masih mengantuk, Eliza pergi membawa teko yang sudah kosong itu ke dapur.
"Nggak salah, Nek? Masa Revan harus nikah sama gadis jelek itu?"
"Hush! Dia juga punya nama. Eliza namanya!"
Mendengar namanya disebut, spontan Eliza menghentikan langkahnya. Eliza menajamkan pendengarannya. Ia tidak bermaksud menguping, sungguh. Tadi dia hanya tidak sengaja mendengar.
"Ya siapapun lah itu, mau Elsa kek, Elis kek ... pokoknya Revan nggak mau nikah sama dia, Nek .... aneh rasanya." Revan merengek sambil memijit lutut Mutia. "Biasanya orang nikah itu ada pengenalan dulu."
"Kalian kan udah kenal dari kecil. Apa kurang lama masa pengenalannya?" Mutia menusuk-nusuk dada Revan dengan telunjuknya.
"Tapi, kan ...."
Eliza memutuskan untuk pergi dari depan kamar nenek Mutia. Lama-lama ia merasa tak sopan karena sudah mencuri dengar.
Sepanjang perjalanan ke dapur, Eliza terus berpikir. Apa keputusannya menerima tawaran nenek Mutia sudah benar? Terus terang ia merasa bersalah karena mendengar kalimat penolakan dari calon suaminya tadi.
Seharusnya Eliza sadar, mungkin ada seseorang yang sedang menjalin hubungan dengan Revan. Tidak mungkin pria semacam Revan tidak ada yang memiliki. Selain tampan dan berpendidikan, dia juga anak orang kaya, tiga kriteria itu saja sudah cukup untuk membuat para gadis di luaran sana tergila-gila padanya.
Ya, tentu saja dibalik kelebihan, tentu saja ada kekurangan. Sikap Revan yang ketus pada Eliza, tidak pernah berubah sejak mereka kecil. Pria itu tetap saja memanggil Eliza si gendut, padahal sekarang Eliza sudah tidak gendut lagi.
Eliza jadi berpikir ulang untuk meneruskan rencana pernikahannya. Apa ia batalkan saja, ya?
Tapi kalau sampai itu terjadi, pasti nenek Mutia sangat kecewa. Nenek Mutia memang orang yang paling antusias dengan rencana pernikahan ini. Bahkan sebulan sebelum tanggal pernikahan, Eliza disuruh tinggal di rumahnya.
"Heh, minggir! Ngapain lo berdiri di sini? Kayak orang bodoh aja!"
Eliza menoleh, Revan sudah berdiri di belakangnya dengan wajah ketusnya. Eliza memberi jalan, Revan melewatinya begitu saja menuju kulkas. Pria itu mengambil botol air dingin.
"Gelasnya ada di sini." Dengan cekatan Eliza mengambilkan gelas di kitchen set, setelah melihat Revan yang celingukan mencari gelas.
"Nggak usah berlagak seperti ini rumah lo, ya!" Revan menolak gelas yang disodorkan Eliza, pria itu memilih meminum air langsung dari botolnya.
"Mas, sepertinya kita harus bicara." Eliza berkata takut-takut.
"Bicara apa? Awas kalau nggak penting!" Revan menjawab dengan ketus.
"Maaf, kalau keberadaan saya di sini mengganggu kamu." Eliza menatap wajah Revan diam-diam, untuk memeriksa reaksinya, kemudian ia melanjutkan bicara.
"Kalau kamu keberatan dengan rencana pernikahan kita, sebaiknya dibatalkan saja."
Revan masih memandang wajah datar. Membuat Eliza semakin takut, jangan-jangan dia salah bicara lagi. Memang sih, dia selalu saja salah di mata Revan.
"Lo pikir segampang itu?" Revan berdecak sebal sambil membanting botol ke meja.
Kalau tidak ingat masih butuh uang neneknya untuk membiayai proyek perkebunan sawit yang baru saja dirintisnya, Revan pasti bersikeras menolak perjodohan konyol ini.