Steven memutuskan pergi menonton bioskop seorang diri, daripada suntuk di rumah. Revan sejak menikah jadi semakin sombong, susah diajak keluar rumah, walaupun untuk sekedar ngopi. Steven juga paham, Revan masih terhitung pengantin baru, buat apa keluar rumah nyari kopi, kalau di rumah sudah ada susu.
Kalau melihat rumah tangga Revan yang lagi lucu-lucunya, ingin juga Steven segera berumah tangga. Tapi dengan siapa? Pacar saja tidak punya?
"Ya Allah, sebenarnya kemana jodoh hamba? Jangan-jangan jodoh hamba sedang dipoligami sama pria lain?" Steven mengeluh seorang diri.
Tak sengaja Steven bertemu dengan Grace, gadis itu juga sedang sendiri. Steven memutuskan untuk menghampiri Grace.
"Sendiri aja, Grace?" sapa Steven.
Grace melambaikan dua buah tiket di tangannya. "Tadinya mau ngajak Revan nonton. Eh, pesan gue dibaca aja nggak."
Melihat wajah sedih Grace, membuat Steven agak kasian. Kurang lebih kisah mereka sama. Terjebak pada cinta yang salah. Mencintai orang yang salah. Sialan.
"Udah, daripada itu tiket mubasir. Mending nonton sama gue aja."
"Ya udah, sama lo juga nggak papa. Nggak ada rotan akar pun jadi." Grace menanggapi dengan malas.
"Grace, boleh gue kasih saran?" tanya Steven berhati-hati.
"Kalau saran lo nyuruh gue buat ngejauhin Revan, mending nggak usah. Lo nggak ngerti gimana rasanya jadi gue ...."
"Gue ngerti, Grace. Gue pernah ada di posisi lo. Hidup kadang sebercanda itu. Di luar sana masih banyak cowok dan cewek cantik, tinggal dipilih aja, eh kita malah suka sama yang udah punya pasangan."
"Yah, namanya juga hidup, Steve. Kadang nggak jelas, kadang nggak jelas banget. Padahal tampang kita di atas nilai KKM, masih aja susah dapat jodoh."
Kedua jomblo malang itu pun terdiam, merenungi nasib masing-masing.
"Kalau dipikir-pikir, sebenarnya ini salah gue sendiri. Dulu, waktu Revan masih ngebucin sama gue, malah gue selingkuhin. Dan sekarang, gue malah ditinggal kawin. Karma is real. Memangnya gue nggak bisa dapat kesempatan kedua? Ujian aja bisa remidi." Grace mengeluh lagi.
"Sabar."
Hanya satu kata itu yang bisa diucapkan Steven untuk menghibur Grace. Padahal dirinya sendiri juga butuh hiburan.
"Memangnya, tipe cewek lo seperti apa, Steve?" Grace tiba-tiba bertanya.
"Sebenarnya, tipe cewek gue nggak muluk-muluk kok. Minimal beragama Islam, tinggi 160 berat 50 kg, warga negara Indonesia, karena gue mencintai produk Indonesia, hitung-hitung mendukung UMKM. Menguasai tiga bahasa, Indonesia, Jawa, Arab walaupun cuma bisa ngomong assalamualaikum dan innalilahi. Bisa mengaji, hafal Qur'an minimal juz amma. Punya sertifikat vaksin lengkap. Punya mantan pacar sedikit, perawan lebih diutamakan. Kulit kuning langsat, sawo matang bolehlah, asal jangan busuk-busuk banget. Pendidikan minimal strata satu, SMA minggir dulu, gue suka perempuan berpendidikan soalnya, gila-gila ijazah juga. Rambut lurus boleh, ikal boleh, gelombang boleh, Tsunami boleh, lurus lebih diutamakan, biar nggak usah keluar duit buat perawatan rebonding di salon. Berhijab Alhamdulillah malahan. Bisa masak, minimal masak air, dan bikin mi gelas. Penurut, pendiam, mendesah boleh, ngomel jangan. Masa udah susah-susah dikasih makan, malah diomeli. Bisa bersih-bersih, minimal habis makan, piring dicuci sendiri. Tapi kalau cantik nggak papa, nggak masak nggak papa, nggak cuci piring nggak papa, daun pisang masih banyak. Yang penting tangan jangan sampai kasar." Steve menghela nafas berat. "Dah, segitu aja."
Grace melongo mendengar banyaknya standar yang dikenakan Steve.
"Lo mau cari jodoh, apa audisi Puteri Indonesia, hah? Mana ada cewek seperfect itu? Gue aja kalau disuruh ikut audisi jadi pacar lo, udah keburu gugur di babak awal."
"Tapi lo cantik. Jadi lo aman." Steven tersenyum manis.
"Makasih, nggak usah repot-repot. Gue nggak berminat jadi pacar lo." Grace menggeleng cepat.
"Ya kali aja lo mau nyoba." Steven terkekeh sambil mengambil beberapa pop corn milik Grace, kemudian memakannya. "Daripada lo ngarepin Revan, kan mending gue kemana-mana. Dia laki orang."
"Lo punya saran, gimana caranya ngelupain masa lalu?" tanya Grace lagi.
"Wafat."
Grace marah mendengar jawaban singkat Steven.
"Nggak ada saran lain apa?"
"Semoga khusnul khatimah. Aamiin." Steven menambahkan.
"Setan!"
Saat Grace memalingkan muka, tak sengaja dia melihat Revan dan Eliza yang sedang berjalan bergandengan tangan, hendak mengantri tiket.
"Dari sekian banyak bioskop, kenapa mereka harus nonton di sini, sih. Ngeselin!" Grace mengeluh lagi.
Steven mengikuti arah pandang Grace, ia paham, kenapa Grace seperti itu.
"Yah, namanya juga pengantin baru, Grace. Wajar kalau mesra. Berhenti jadi pengganggu, di Indonesia ini orang-orang pada nggak suka sama yang namanya pelakor, apalagi ibu-ibu."
"Udahlah, tiketnya buat lo semua aja. Gue mau pulang, udah nggak mood mau nonton." Grace meletakkan tiket miliknya ke saku baju Steven.
"Lah, nggak asyik banget lo. Kan gue jadi nonton sendirian?" Steven mencegah Grace yang hendak pergi.
"Ya baguslah, lo bisa nonton dua kali." Grace tampak tidak peduli dengan keluhan Steven. Gadis itu terus saja pergi meninggalkan Steven.
Steven hanya bisa memandangi dua tiket di tangannya dengan kebingungan.
"Eh buset! Gue disuruh nonton film paku kuntilanak dua kali, pulang-pulang gue bisa kesurupan."
***