"Untung kamu datang, Van. Tuh, anaknya udah beres-beres di kamar. Katanya mau sewa apartemen sendiri." Mutia mengadu kepada Revan segera setelah pria itu masuk rumah.
Revan menghela nafas berat. "Memangnya Nenek bilang apa sama dia?"
"Nggak ada bilang apa-apa. Kemarin pas dia nggak pulang dua hari, Nenek tanya ... Keira, darimana kamu? Dia ngeloyor aja ke kamar, nenek dikacangin, Van. Serius." Mutia bercerita dengan berapi-api.
"Tadi, pas sarapan, baru Nenek bilang sama dia ... Keira, ini rumah Nenek, bukan hotel, kamu nggak bisa pulang dan pergi sesuka hatimu. Hargai Nenek!"
"Pasti dia ngerasa Nenek ngusir dia." Revan mengambil kesimpulan.
"Nenek nggak ada bilang gitu kok." Mutia masih mengelak.
"Biar aku yang bicara sama dia."
Revan berjalan ke kamar Kiera, sedangkan Eliza menemani Mutia di ruang makan.
Revan masuk ke kamar Kiera, tampak gadis itu sedang mengemas pakaian ke dalam koper. Revan hanya memperhatikan semuanya dengan diam.
"Kamu kenapa, sih, Ki? Selalu aja berantem sama nenek." Revan mulai bersuara.
"Nenek tuh yang kenapa? Selalu aja marahin aku. Orang baru pulang bikin tugas, malah dimarahin. Aku nggak pulang dua hari itu nginep di rumah temen aku. Malah dikira macem-macem. Katanya suruh lulus tahun ini, orang beneran serius kuliah malah diomelin terus. Nggak jelas emang nenek tuh ...." Kiera mengomel panjang lebar.
"Namanya juga orang tua, maklumin aja kenapa, sih? Lagian kamu juga salah, kan bisa ngasih kabar, kalau emang nggak pulang buat ngerjain tugas." Revan malah balik menyalahkan Kiera.
"Pokoknya aku mau tinggal sendiri! Lama-lama aku bisa setres ngadepin nenek." Kiera yang sudah selesai mengepak barang, menyeret kopernya keluar kamar.
"Kamu mau tinggal dimana?" Revan menahan koper adiknya.
"Apartemen pacar aku." Keira menjawab ketus.
Revan tersenyum sinis mendengar jawaban adiknya. "Kamu mau kumpul kebo? Lama-lama kamu semakin mirip mama, ya?"
Mama tiri Revan yang saat ini entah ada di negara mana, memang doyan tinggal serumah dengan bule-bule manca negara. Bulan ini di Prancis, tiga bulan lagi sudah ada di Jerman, hampir semua bule-bule uni Eropa sudah pernah dicicipi. Tipe-tipe tante girang yang hedon.
"Nggak usah bawa-bawa mama." Kiera mendesis marah. Sejelek apapun mamanya, Kiera bisa sakit hati kalau ada orang yang menghinanya.
"Terserah kalau kamu mau pergi."
Keira heran karena kali ini Revan melepaskannya begitu saja. Tidak gigih menahannya.
"Tapi mana kunci mobilnya." Revan menadahkan tangan.
"Tapi itu mobil aku, Kak. Hadiah dari papa." Keira membantah dengan keras.
"Siapa yang bayar asuransinya? Pajaknya? Bensinnya? Aku."
Dengan kesal Kiera mengambil kunci mobilnya dari tas, kemudian melemparkannya ke arah Revan.
"Ambil! Aku tidak butuh." Dengan kemarahan yang semakin menggunung, Kiera keluar dari rumah neneknya.
Mutia dan Eliza yang sedang duduk di ruang makan, melihat Kiera lewat di depan mereka tanpa berpamitan.
Revan keluar dari kamar Kiera, kemudian bergabung di meja makan. Dengan santainya Revan mengambil air minum.
"Mas, kenapa Kiera nggak dicegah?" tanya Eliza khawatir.
"Biarkan saja." Revan menjawab singkat.
"Tapi, Mas. Ini kan udah malam, bahaya kalau dia berkeliaran sendiri di jalan."
"Kamu tenang saja, El." Revan berusaha meyakinkan istrinya.
***
Sepanjang jalan Kiera terus saja menyumpah, ia teramat kesal kepada Revan dan juga Mutia. Kini ia harus jalan kaki, karena dompet dan ponselnya ketinggalan di meja rias.
"Awas! Lihat aja kalau gue udah sukses nanti. Gue gusur rumah nenek."
Steven yang kebetulan lewat di dekat rumah Mutia, heran melihat Keira berjalan kaki sambil membawa koper. Steven segera menghentikan mobilnya di dekat Kiera.
"Halo cewek." Steven menyapa dengan gayanya yang tengil.
Melihat ada Steven di dekatnya, Kiera langsung senang.
"Wah, kebetulan ada lo, Bang. Anterin gue ke daerah Rasuna, ya."
Tanpa menunggu persetujuan Steven, Kiera segera naik ke mobil.
"Eh, mohon maaf nih ... ini bukan taksi, ya!" Steven melirik kesal ke arah Kiera yang duduk di sampingnya. Menyesal tadi sudah iseng menyapa.
"Nebeng bentar, Bang."
"Nebeng gimana? Kita nggak seiring sejalan, ya! Gue mau ke rumah nenek, diundang makan. Lo mau ke Rasuna, yang jaraknya sepuluh kilo dari sini."
"Elah, Bang. Pelit amat. Ingat pelajaran PPKN. Sesama manusia harus saling tolong meno?"
"Lak!"
"Menolong, Bang. Kok saling menolak, sih? Dipikir magnet sekutub?'
"Udah, nggak usah bahas-bahas pelajaran sama gue. Ini sebenarnya kenapa lo kececeran di jalan? Jangan-jangan lo kabur dari rumah ya?" Steven mengamati Kiera dengan pandangan curiga.
Kiera diam sesaat, kemudian menunduk. "Gue diusir, Bang."
"Hah? Seriusan?"
***