"Tin, ini buat biaya sekolah adek-adek kamu. Semoga bermanfaat, ya." Revan menyerahkan amplop yang agak tebal untuk Titin.
"Terimakasih, Pak." Titin menerima amplop itu dengan mata berbinar.
Eliza yang sedari tadi memperhatikan kedua orang itu, sengaja berdehem.
"Ke kamar sebentar, Mas. Aku mau ngomong." Eliza berlalu ke dalam kamar, diikuti oleh Revan. Sedang Titin sigap menguping di depan pintu.
Eliza melihat ada bayangan kaki di bawah sela-sela pintu, ia tau, itu adalah kaki Titin. Berani-beraninya dia nguping! Eliza menggerutu kesal.
"Tolong angkat jemuran, Tin!" Eliza sengaja berteriak agak keras. Membuat Titin berjingkat.
"Iya, Bu." Titin bergegas ke balkon untuk mengangkat jemuran.
"Kamu mau bicara apa, Sayang?" Revan memeluk istrinya dengan manja.
"Kenapa kamu kasih uang sama Titin? Dia 'kan belum gajian, Mas?" Eliza mencoba bicara menggunakan nada sewajar mungkin, tapi Revan tetap bisa membaca raut kekesalan di wajah Eliza.
"Oh, kamu cemburu ceritanya? Kamu mau uang juga?" Revan membuka tas kerjanya, kemudian mengambil amplop yang lebih tebal.
"Ini, buat kamu. Itu lima puluh juta isinya."
"Aku nggak mau uang, Mas!" Eliza menolak amplop dari Revan. "Aku cuma lagi nanya sama kamu. Kenapa kamu ngasih uang ke Titin? Itu aja kok."
Revan memijat tengkuknya yang terasa pegal, baru pulang kerja, bukannya diajak mesra-mesraan sama istri, malah diinterogasi.
"Kan udah dibilang, itu buat biaya adeknya sekolah."
"Dia berani minjem uang sama kamu?" tanya Eliza curiga.
"Nggak. Itu aku ngasih sendiri. Kebetulan di perusahaan aku ada progam anak asuh gitu, buat karyawan yang punya anak berprestasi sebenarnya. Tapi, aku pikir kasian juga adeknya Titin, ya udah, aku kasih aja sekalian. Ada masalah?"
"Ya nggak gitu, Mas. Kamu kan belum survey, beneran nggak, dia punya adek di kampung, kamu pernah liat kartu keluarganya? Jangan-jangan adek fiktif."
"Aku pernah ditunjukkan fotonya."
"Foto aja jangan percaya, Mas. Siapa tau dia comot foto orang di pinterest, atau bisa jadi itu foto anak tetangga atau foto anak jalanan di lampu merah, dikasih uang dua ribu mereka juga pasti mau di foto."
"Udah, ya, Sayang. Jangan diterusin lagi. Nggak baik kamu hamil gini malah suujon terus. Yang penting kita niatnya baik, perkara dia mau nipu atau apa, biar dia sendiri yang tanggung dosanya."
"Tapi kan sayang uangnya, Mas. Berapa tadi kamu kasih?"
"Nggak banyak, cuma dua puluh juta."
"Banyak banget! Bisa kebeli motor itu."
"Itu zakat mal kita kok. Katanya suruh zakat, untuk membersihkan harta kita."
"Iya, ngerti. Tapi kamu nggak bisa asal ngasih ke orang. Ada delapan golongan yang berhak menerima zakat, yaitu Amil, fakir, miskin, mualaf, ghorim, Ibnu Sabil, fi Sabilillah, dan budak yang memerdekakan diri. Dia masuk jalur mana, Mas?"
"Budak kali, ya."
"Aku serius, Mas! Kamu mah becanda terus deh."
"Eh, serius. Kan anak-anak, kayak di film Upin Ipin tuh, budak degil!"
"Bukan budak yang itu, Mas! Ah, nggak tau ah!" Eliza marah dan berjalan ke arah jendela, mematung di sana.
Revan menghela nafas dan menghampiri istrinya. "Maaf, deh. Besok-besok, kalau aku mau ngasih apa-apa ke orang, aku minta ACC kamu dulu, gitu kan?"
"Ngapain? Terserah kamulah, uang-uang kamu! Punya hak apa aku? Nggak ikut nyari uang juga!" Eliza menjawab ketus.
"Aku minta lagi uangnya, apa gimana?"
"Pikir aja sendiri!" Eliza berjalan ke ranjang, dan mengubur dirinya dengan selimut.
"Ya udah, sekarang aku minta balik aja uangnya. Daripada kamu ngambek terus ya, kan ...." Revan hendak berjalan ke luar kamar. Eliza segera bangkit dari tidurnya dan menarik tangan Revan.
"Ih, nggak usah, Mas!"
Revan bingung dengan tingkah aneh istrinya, apa semua orang hamil memang begini adatnya?
"Terus aku harus gimana? Orang bayar zakat, malah dimarahin. Kalau aku nyawer LC di karaoke, baru pantes kamu marah."
"Besok lagi jangan kayak gitu, jangan baik sama Titin. Aku nggak suka."
"Dih, kenapa?"
"Orang miskin yang lain kan banyak, Mas. Kenapa harus dia? Nggak ikhlas aku."
"Iya-iya. Mulai sekarang, aku nggak akan baik sama dia lagi. Aku bakalan jahat sama dia, begitu kan?"
"Nggak gitu juga, Mas!"
"Terus gimana? Nggak jelas deh kamu."
***
Lu yang nggak jelas, Van! Jadi laki bodo amat? Itu istri lu lagi was-was, takut terjadi cinta segitiga, emang lu pikir terigu aja yang bisa segitiga? 😁