"Cepat pulang, nenek mendadak datang ke rumah. Kamu dimana? Aku jemput sekarang."
Eliza kaget menerima pesan dari Revan. Perempuan itu bergegas membalas pesan Revan. Walaupun sedang marahan, tapi kalau untuk urusan nenek, mereka harus kompak.
Eliza segera mencari taksi untuk kembali ke apartemen Revan, tadi ia baru saja sampai di depan gerbang rumah orang tuanya.
Saat Eliza sedang sibuk memanggil taksi, Steven yang kebetulan akan berangkat kerja datang menghampirinya.
"Dek Liza, kamu pulang?"
Liza mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Tampak Steven dengan senyum lebarnya, tampak begitu senang melihat keberadaan Eliza.
"Iya, Mas. Tapi kayaknya aku harus balik lagi ke apartemen. Ada urusan penting." Eliza beralasan.
"Loh, kamu kan baru saja sampai?" Steven memperhatikan tas bawaan Eliza.
"Iya, Mas. Mau gimana lagi. Ini urusan penting banget soalnya." Eliza tampak sibuk mengubungi nomor taksi, tapi sayangnya operator sedang sibuk.
"Kayaknya aku mau naik angkot saja." Eliza berpamitan dengan terburu-buru kepada Steven.
"Kenapa harus naik angkot, kalau ada Aa." Steven menepuk dadanya.
"Nggak usah, Mas. Kayaknya Mas mau berangkat kerja gitu, nanti ngerepotin."
"Repot apa, sih? Kalau demi Dek Liza mah nggak ada yang namanya repot hehe ...."
Akhirnya, daripada membuang waktu untuk berdebat, Eliza memutuskan untuk menerima tawaran Steven.
Seperti biasa, di dalam mobil, Steven terus mengajaknya bicara. Padahal pikiran Eliza sedang tidak fokus.
"Dek, kita main tebak-tebakan, gimana? Biar seru."
"Aku lagi males mikir, Mas. Lain kali aja, ya?" Boro-boro main tebak-tebakan, Eliza kini sedang panik memikirkan reaksi nenek Mutia nanti. Pasti wanita itu telah bertemu dengan Grace.
Steven mengabaikan penolakan Eliza. "Ya nggak papa, Dek. Biar pagi-pagi pikiran kita fresh."
"Ya udah, apa?" Eliza menyerah.
"Alat transportasi apa, yang supirnya empat, penumpangnya satu?"
Eliza tampak berpikir sebentar, namun karena tidak mood, ia menjawab asal. "UFO, bukan?"
"Kok UFO, sih?" Steven cemberut mendengar jawaban absurd Eliza. "Pikir lagi, Dek."
"Tau, ah, Mas. Nyerah." Eliza semakin bertambah pusing.
"Nyerah, ya? Kalau kamu nggak bisa jawab, kamu harus traktir aku. Nanti makan siang." Steven berkata licik.
"Loh, tadi kan nggak ada perjanjian seperti itu?" Eliza protes.
"Ya sekarang ada. Udah, jangan protes. Jawab, atau traktir aku?" Steven tersenyum licik.
"Dih, maksa." Eliza memutar mata malas.
"Nggak penasaran, jawabannya apa?" Steven tersenyum tengil.
"Kasih tau aja, Mas. Aku udah pusing ini." Eliza memijat pelipisnya.
"Jawabannya keranda." Steven terbahak-bahak sampai keluar air mata. Bukannya ikut tertawa, Eliza hanya tersenyum miris melihat pria itu.
"Dasar bapak-bapak pesbuk."
"Jadi ya, kamu traktir aku."
"Lain kali aja, ya, Mas. Atau aku kasih uangnya aja, nanti kamu beli sendiri?" Eliza bersiap mengeluarkan dompetnya.
"Kok duit, sih? Aku nggak mau duit. Yang aku cari itu momennya, masa nggak paham, sih? Aku ini lagi pedekate sama kamu. Peka dikit dong, Dek."
Eliza salah tingkah mendengar ucapan Steven. Tentu dia tau, kalau pria ini menaruh minat kepadanya. Cuma mendengar sendiri dari mulut Steven rasanya lebih menggelikan. Andai saja Revan mengijinkannya untuk menceritakan status pernikahan mereka, pasti urusannya tidak akan rumit begini.
Untung saja mereka telah sampai di parkiran apartemen Revan. Eliza menarik nafas lega saat keluar dari mobil Steven.
"Loh, Mas ikut naik juga?" Eliza heran melihat Steven melepas sabuk pengaman dan ikut turun dari mobil.
"Sekalian mau ngambil berkas." Steven menjelaskan.
Kedua orang itu berjalan beriringan menuju apartemen Revan. Sepanjang jalan Eliza terus berpikir, apa yang akan ia katakan kepada neneknya nanti.
"Dek, nanti kita makannya di cafe teman aku aja, ya? Baru aja opening, banyak promo loh. Jadi dia itu jualan udon. Tau udon nggak, Dek?" Steven mencoba membuka pembicaraan karena melihat wajah Eliza yang tegang sejak keluar dari lift.
"Udon? Siapanya Udin?" tanya Eliza tidak fokus.
"Bukan siapa-siapanya, nggak ada hubungan kekeluargaan juga." Steven tertawa lepas. "Udon itu mi asal Jepang. Yang biasanya ada di filmnya Naruto."
"Oh." Eliza hanya menanggapi singkat.
"Oh, ya ... cafe teman aku itu namanya Su-Udon. Dia jualan ramen sama sushi juga kayaknya. Cafenya dekat bioskop. Habis makan, kita sekalian nonton, gimana?"
"Emang aku ada bilang mau ikut?" Eliza mengerutkan dahi.
"Ya bisain lah, Dek. Kalau nggak bisa nanti, besok 'kan bisa?" Steven memaksa.
"Lihat besok deh."
"Kamu lagi mikir apa, sih? Serius amat?" Steven mengamati wajah Eliza.
"Nggak ada." Eliza berjalan mendahului Steven.
Saat membuka pintu apartemen Revan, ia segera disambut wajah datar Nenek Mutia.
"Assalamualaikum, Nek. Apa kabar?" Eliza mencium tangan Mutia dengan hormat. Eliza bahkan tidak berani melihat wajah Mutia.
"Duduk. Nenek mau bicara!"
***
***