"Kenapa lo diusir dari rumah? Gara-gara ngilangin Tupperware nenek, ya?" tebak Steven.
"Gue nggak ngapa-ngapain, Bang. Emang dasarnya nenek aja yang benci sama gue. Sejak kecil kan emang begitu. Nenek benci mama dan gue."
Steven tak percaya begitu saja ucapan Keira. Pria itu diam-diam mengirim pesan ke Revan.
Van, gue nemu adek lo, nih. Di jalan! Dia minta dianterin ke Rasuna. Katanya dia diusir dari rumah, emang beneran?
Tidak seberapa lama, datang balasan dari Revan.
Turuti aja apa maunya. Kalau lo lagi nggak repot, sih.
Steven menghela nafas berat, kemudian bersiap mengantarkan Kiera.
"Di Rasuna itu apartemen siapa, Ki?" tanya Steven penasaran.
"Apartemen pacar gue. Rencananya gue mau numpang disana untuk sementara." Kiera menjawab ringan.
Steven kaget mendengar jawaban Kiera. "Hah? Revan tau?"
"Tau kok."
Steven diam saja, di sini ia hanya orang luar, tidak berhak ikut campur masalah keluarga orang lain.
Dalam perjalanan, Steven masih berusaha untuk menasihati Kiera.
"Ki, kalau boleh gue kasih sar ...."
"Nggak usah repot-repot, makasih." Kiera memotong cepat.
"Nggak baik tau, Ki. Tinggal serumah sama cowok, kalian kan bukan suami istri nih ... takutnya tiba-tiba ada razia satpol PP." Steven yang menganggap Kiera seperti adiknya sendiri ikut menasihati.
"Itu apartemen mewah, bukan hotel kelas melati." Kiera menjawab ketus.
"Ya gue takut aja, kalau lo sampai di manfaatkan cowok. Jaman sekarang cowok itu pada buaya."
"Termasuk Abang?"
"Kecuali gue."
"Jadi pak Jokowhy juga buaya?"
"Ati-ati, Ki. Jangan sembarang ngomong. Bisa-bisa di deportasi ke Uganda lho. Dia kan hokage di negara ini."
"Udahlah, Bang. Gue bosen dinasihati sana-sini, nggak elu, nggak bang Revan, nenek juga. Kenapa, sih, semua orang pada demen nasihati gue? Apa tampang gue terlihat seperti kaum yang tersesat?"
"Bersyukur, Ki. Masih ada orang yang mau repot-repot menasihati lo. Itu tandanya mereka sayang sama lo." Steven berkata dengan bijak.
"Termasuk lo? Maaf ya, Bang. Gue nggak berminat disayangi pria tua seperti lo."
"Ya udah, turun lo. Udah minta anterin, malah ngatain." Steven uring-uringan karena dikatai sebagai pria tua.
"Emang gue mau turun, tuh apartemen cowok gue ada di depan."
"Gini yang lo bilang apartemen mewah?"
Steven mengamati penampakan apartemen di depannya, apartemen kelas bawah, termasuk daerah rawan. Ia tau, jenis manusia apa yang tinggal di sini.
"Pikir lagi, Ki. Yakin lo mau nginep di situ?"
"Habis gue mau nginep di mana? Kan gue udah di usir dari rumah. Duit juga nggak ada."
Steven mengeluarkan dompetnya, memberikan beberapa lembar uang merah.
"Nih, gue pinjemin uang. Mending lo sewa kosan deh."
"Udah, nggak usah ribet. Gue bisa jaga diri. Pake kondom nggak mungkin hamil kok." Kiera menjawab ringan sambil berusaha mengeluarkan kopernya.
"Heh, maksud lo apa, Ki?" Steven kaget mendengar ucapan Kiera.
"Apa, sih? Gue udah dewasa. Gue berhak ngapain aja."
"Udah, jangan nekat. Mending lo ikutin saran gue. Ini demi kebaikan lo." Steven masih berusaha membujuk Kiera.
"Nggak usah bawel!"
Steven segera keluar dari mobilnya dan menghampiri Kiera yang hendak berjalan masuk ke lobby apartemen. Pria itu segera menarik tangan Kiera. Steven tidak bisa tenang meninggalkan Kiera di apartemen pacarnya. Steven sudah menganggap Kiera seperti adik sendiri, keselamatan Kiera juga jadi tanggung jawabnya juga.
"Masuk! Balik aja ke rumah nenek lo."
"Apaan, sih? Nggak usah maksa deh!" Kiera memberontak, menolak masuk mobil. Namun pada akhirnya ia menyerah juga.
Saat dalam perjalanan, Kiera lebih banyak diam. Raut wajahnya tampak kesal.
"Cowok lo kerja apa?" Steven membuka percakapan untuk mencairkan suasana.
"Guru PJOK."
"Hah? Nggak salah lo? Biasanya cewek jaman sekarang pada nyari pegawai tambang, abdi negara, dokter, lo malah ...."
"Emang kenapa sama guru PJOK? Gue suka yang ada aura-aura bad boy-nya!" Kiera mati-matian membela pacarnya.
"Bad boy darimana, hah? Kalau nyari yang ada aura bad boy-nya, sono sekalian pacaran sama mafia." Steven mengejek selera Kiera yang menurutnya aneh.
"Apapun yang terjadi, idaman gue tetep guru PJOK."
"Parah ini anak." Steven hanya menggeleng pelan, kehabisan kata-kata.
***
"Kenapa gue malah dibawa kesini?"
Kiera bingung ketika Steven malah membawanya ke rumah miliknya. Kiera baru tau kalau Steven sudah pindah dari apartemen lamanya.
"Mending lo di sini aja, deh. Daripada lo keluyuran di jalan. Takutnya lo diperkosa orang."
"Kenapa, sih? Orang diperkosa doang juga!"
Steven kaget mendengar tanggapan Kiera yang kelewat santai. Kok ada cewek seperti ini?
"Heh, mulut lo! Iya kalau cuma diperkosa, kalau sekalian dibunuh gimana? Mau lo, jadi hantu yang belum sempat mandi junub? Arwah lo penasaran, kayak film pocong keramas."
"Tinggal di sini juga sama berbahayanya."
Steven tersinggung mendengar ucapan Kiera. Dipikir dia cowok apa?
"Maksud lo apa, hah? Nggak semua cowok itu berengsek, ya. Gue contohnya."
"Nggak ada kecap nomor dua." Kiera mencibir.
"Bentar lagi Revan datang buat jemput lo. Udah gue kasih tau kalau lo ada di sini."
"Ih, ngapain, sih? Pakai ngasih tau dia? Ngeselin deh." Kiera menghentakkan kakinya dengan kesal. Sudah capek-capek kabur, ujung-ujungnya malah dijemput.
"Lah mending lo dirawat sama kakak lo. Apa maunya lo dirawat sama gue?"
"Dih, najis!" Kiera bergidik ngeri.
"Gue mau mandi, serah lo mau nonton TV kek, tidur kek. Yang penting jangan kabur!"
Setelah Steven pergi ke kamar mandi, Kiera yang kecapekan pun masuk ke kamar Steven untuk beristirahat, dan di sana gadis itu ketiduran.
***
Kiera, Kiera ... kelakuan lo bener-bener, ya .... Ampun dah! Dajjal ada minder sama lo 🤣