Akhirnya Revan berhasil menghubungi Eliza, setelah dua hari diabaikan oleh perempuan itu. Revan menanyakan, apa Eliza lupa kalau dirinya masih punya suami.
"Kapan kamu ke rumah sakit?"
"Kenapa tanya? Memangnya kedatangan aku diperlukan?" sindir Eliza.
"Baju kotor menumpuk. Cepat ambil." Revan memutus panggilan dengan semena-mena, membuat Eliza hanya bisa menghela nafas berat.
Eliza pun memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Setelah mengambil baju kotor Revan, ia akan segera pulang.
Eliza berjalan kaki menuju jalan raya, tidak terlalu jauh, tapi tidak bisa dibilang dekat juga. Rumah peninggalan orang tuanya memang terletak di kawasan yang cukup asri, tapi kekurangannya agak jauh dari akses jalan raya. Tapi tak apa, Eliza senang berjalan kaki di sekitar kawasan itu, sekalian mengingat masa kecilnya.
Sebuah mobil berhenti di depannya, Eliza mengerutkan kening ketika pengemudinya turun dan menghampirinya.
"Mau ke rumah sakit, ya?" tanya Steven ramah. Terlihat pemuda itu mengenakan kemeja rapi, sepertinya hendak berangkat kerja.
Eliza hanya mengangguk ragu. Steven berjalan ke mobilnya dan membuka pintu penumpang di sebelahnya.
"Sekalian sama saya aja, Mbak. Kebetulan saya juga mau ke rumah sakit, mau setor berkas ke Revan."
Sebenarnya Eliza ingin berangkat sendiri saja. Tapi ia bingung, bagaimana caranya menolak tawaran Steven tanpa membuat pria itu tersinggung.
"Mas duluan saja. Kebetulan saya mau mampir ke supermarket sebentar." Eliza menjawab. Memang ia perlu membeli kebutuhan rumah tangga untuk menginap di rumah orang tuanya.
"Nggak papa, Mbak. Sekalian aja. Lagian saya juga nggak lagi buru-buru kok. Biasa, orang lapangan." Steven memaksa. Akhirnya Eliza terpaksa menerima tawaran Steven.
Di dalam mobil, pria itu tak henti mengoceh tentang banyak hal. Membuat kepala Eliza pusing. Steven adalah pria paling cerewet yang pernah ditemui Eliza, mengingatkan Eliza pada presenter acara gosip Indra Herlambang.
"Saya panggil kamu Liza aja, ya. Biar makin akrab. Lagian saya lihat-lihat kamu lebih muda dari saya," ucap Steven, ketika dia mengakhiri cerita tentang bagaimana caranya dia bisa membeli rumah di daerah sekitar rumah orang tua Eliza.
"Iya, silakan aja, Mas." Eliza menanggapi singkat. "Tapi biasanya saya dipanggil El sih sama orang-orang."
"Ya nggak papa, saya manggilnya Liza aja. Biar ada panggilan khusus aja gitu hehe ...." Steven tersenyum dengan ramah.
"Hehe iya, nggak papa." Eliza ikut tertawa dipaksakan, sekedar menghargai Steven.
"Kamu senang kerja sama Revan?" tanya Steven tiba-tiba.
Eliza bingung harus menjawab apa, dia tidak terbiasa berbohong sejak kecil. Melihat Eliza yang kebingungan, Steven mulai mengerti.
"Pasti dia galak, ya?" Steven terkekeh.
"Eh, nggak gitu, Mas." Eliza buru-buru menyangkal.
"Nggak usah takut, saya nggak akan ngadu kok." Steven membuat tanda resleting di mulutnya.
Steven menurunkan Eliza di depan sebuah minimarket, Eliza bergegas turun. Kemudian ia bertanya lagi kepada Steven.
"Beneran nggak papa, Mas nunggu saya belanja?"
"Iya, nggak papa. Santai aja." Steven tersenyum lagi. "Kalau boleh saya nitip, ya. Deodorant saya abis soalnya."
"Merek apa, Mas?" tanya Eliza sambil tersenyum, ternyata orang ganteng bisa bau ketek juga.