Steven bangun kesiangan, itupun karena mendengar suara ribut-ribut dari dalam kamarnya. Kiera tengah mengemasi pakaiannya. Steven segera menghampiri Kiera dan merebut kopernya.
"Lo serius mau pergi?"
"Iya. Sini balikin kopernya." Kiera menarik kopernya, tapi Steven menahannya.
"Jangan pergi, Ki. Kan gue udah minta maaf. Segitu susahnya maafin gue? Terus gue harus apa?"
"Nggak usah ngapa-ngapain. Cukup balikin koper gue." Kiera bersikeras untuk tetap pergi.
"Terus gue gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Malah bagus 'kan? Beras, listrik dan kuota di rumah ini nggak cepat habis," sindir Kiera.
"Nggak usah drama. Cuma masalah segitu aja pakai kabur dari rumah. Kan bisa dibicarakan baik-baik? Kita ini udah sama-sama dewasa, Ki." Steven memasukkan kembali baju-baju Kiera ke lemari.
"Kan biang masalahnya dari Abang sendiri. Udah tau gue nggak suka sama Marni. Eh, Abang malah belain dia."
"Gue bukan belain dia. Gue cuma nggak suka sama cara lo yang main gampar orang. Kalaupun orang yang mau lo gampar bukan dia, lo tetep gue marahin kok."
"Alesan! Bilang aja Abang nggak terima kalau selingkuhan Abang digampar."
"Astaghfirullah. Harus berapa kali gue bilang, dia bukan selingkuhan gue, Ki. Kapan lo bisa percaya, sih? Apa perlu gue sumpah pocong?"
"Buktinya Abang perhatian banget sama dia, anaknya sakit Abang yang repot, anaknya nggak bisa nonton TV, Abang yang dipanggil. Pasti Abang ada maunya. Kalau enggak, mana mungkin Abang mau repot-repot begitu? Nggak mungkin cuma beramal 'kan?" Kiera masih ngotot dengan pendapatnya.
"Ya udah. Terserah sama penilaian lo. Tapi jangan pergi dari rumah. Lagian lo mau kemana? Ke apartemen Revan? Kan sempit? Ada bayi juga di sana, ntar malah ngerepotin."
"Gue mau ke rumah nenek! Kan rumahnya kosong. Biar gue temenin bi Esih." Kiera menjawab santai.
"Nggak usah kesana, ya? Plis lah, gue minta maaf." Steven memelas sambil menyentuh tangan Kiera.
"Palingan ntar diulang lagi. Intinya gue nggak suka Abang dekat-dekat janda ikan asin itu! Gue mau bilang kak Revan supaya dia dipecat."
"Jangan, Ki. Kasian. Ntar dia makan pakai apa?"
"Ya bodo amatlah, dia mau makan pakai garem kek, pakai masako kek. Bukan tanggung jawab Abang juga. Tanggung jawab Abang itu cuma gue. Kan gue yang istrinya Abang."
"Gue liat dia itu inget mama, tau. Waktu gue kecil mama juga gitu. Jungkir balik nyari duit sendiri. Jadi janda nggak gampang, Ki. Jangan nyusahin orang lah. Biarkan orang nyari nafkah dengan tenang." Steven teringat perjuangan mamanya yang janda dalam membesarkan dirinya.
"Oh, jadi Abang pilih dia?"
"Gue pilih Pak Ganjar. Ya jelas gue pilih lo! Masalahnya, lo mau nggak dipilih sama gue?" Steven malah menggombal.
"Oke. Kali ini gue maafin. Sekali dua kali gue masih maklum. Tapi kalau tiga kali empat kali itu namanya dua belas, gue ngomong apa, sih?" Kiera menampar mulutnya sendiri. Digombali sedikit saja sudah salah tingkah.
"Artinya gue dimaafin 'kan?" Steven bertanya untuk memastikan.
"Masih masa percobaan. Sekali lagi Abang bikin gara-gara, beneran gue PHK jadi suami." ancam Kiera.
Akhirnya Kiera dan Steven pun berbaikan, bahkan mereka berangkat kerja bersama.
"Nanti makan siang bareng, ya?" kata Steven saat menurunkan Kiera di parkiran.