BAB 3 •Tantangan Tiga Puluh Hari

37 3 0
                                    

Sudah hampir empat jam Ellia berjalan tanpa tujuan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sudah hampir empat jam Ellia berjalan tanpa tujuan. Tidak memedulikan orang-orang yang menatapnya aneh karena menangis di sepanjang jalan.

Sosok yang seharusnya menjadi rumah tempat pulang, kini tak sehangat dulu. Kehadirannya justru hanya mendatangkan kecewa dan rasa sesak di dalam dada.

Ellia kira sikap baik mamanya hari ini benar-benar tulus dan tanpa pamrih, tapi Ellia salah, rupanya itu adalah umpan untuk bisa membujuknya menggantikan perjodohan kakaknya. Benar-benar konyol.

Tepat saat mendengar kalimat yang diucapkan mamanya, Ellia benar-benar sempat tertegun, tak habis pikir. Hingga detik berikutnya ia menolak dengan keras permintaan itu. Jelas Ellia tidak mau dijodohkan. Mama sempat memaksanya untuk memikirkan kembali tawaran itu, namun Ellia tidak ingin mendengar apapun lagi dan memilih keluar mobil di tengah-tengah kemacetan yang menguntungkannya untuk bisa kabur.

Ellia benar-benar kecewa hingga rasanya menyesakkan. Mama hanya ingin memanfaatkannya. Meski mamanya sempat menjelaskan bahwa perjodohan itu untuk kebaikan dirinya, terlebih lagi mama bilang bahwa pria yang akan dijodohkan dengannya adalah pria potensial yang bisa menjunjung martabat keluarga mereka di hadapan keluarga almarhum papa.

Cih, peduli amat dengan pria potensial yang digembar-gemborkan sang mama, siapa yang akan tertarik menerima perjodohan yang bahkan Ellia sama sekali tidak tahu siapa pria bodoh yang mau saja dijodoh-jodohkan itu.

Di tengah perjalanan tanpa arahnya, Ellia menatap sekeliling. Banyak orang yang berlalu lalang. Ellia menghapus sisa air matanya dan sempat heran karena ia sudah berada di jalur pedestrian Kota Tua. Akibat kakinya yang sudah terasa sakit dan lelah, akhirnya ia memutuskan untuk mencari tempat duduk yang tidak ditempati satu pun orang. Setelah menemukannya, Ellia pun segera duduk dan menghela napas lega. Ellia capek, sekaligus lapar. Tapi tubuhnya terlalu lelah untuk mencari tempat makan.

Ellia mendongak, menatap hamparan langit malam tanpa bintang. Hingga kemudian ia pun memilih mengambil ponselnya yang sempat ia matikan untuk menghindari telepon dari sang mama. Usai menyalakannya kembali, ia mengernyit heran karena banyak sekali panggilan masuk maupun pesan beruntun dari Flora dan juga Alga.

Ellia menatap lama nama Flora yang ada di layar, ia sedikit kesal karena gara-gara Flora menolak perjodohan itu, mama jadi mengorbankan dirinya. Pada akhirnya, ia pun memilih untuk membaca pesan dari Alga.

Baru saja Ellia bersiap mengetik balasan, panggilan dari pria itu lebih dulu menginterupsi.

“El, lo dimana? Gue nyariin lo kemana-mana nggak ketemu. Hp lo juga dari tadi sore nggak aktif.”

Ellia tersenyum geli mendengar suara Alga yang langsung menyapa telinga tepat setelah ia menerima panggilan telepon.

“Gue…” Ellia berpikir sejenak seraya berdehem pelan, mengatur nada suaranya agar tidak terbaca oleh Alga bahwa ia baru saja menangis. Alga memang sangat peka terhadap hal-hal seperti itu. “Gue lagi jalan-jalan.”

30 DaysWhere stories live. Discover now