BAB 4.2

26 4 2
                                    

Jika ada suara yang lebih indah dari sekadar lagu-lagu favoritku, maka itu adalah suara tawamu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jika ada suara yang lebih indah dari sekadar lagu-lagu favoritku, maka itu adalah suara tawamu.

***

Segala macam teori yang memaksa kepala Ellia terus memikirkannya sejak semalam masih belum juga reda. Ellia sampai tidak bisa tidur dibuatnya dan berakhir membuat ia bangun kesiangan. Sedangkan Alga sudah menunggu di depan rumahnya. Ellia pun buru-buru mengambil tasnya dan berlari menuju pintu, tapi tiba-tiba ia kembali berbalik. Mengambil lip tint di meja rias dan memakainya. Merapikan rambut panjangnya yang sudah diikat menjadi satu. Menepuk kedua pipi, kemudian menarik garis senyum. Setelahnya, Ellia pun langsung bergegas keluar kamar.

“Ellia berangkat!” seru Ellia saat melihat pintu kamar Flora sedikit terbuka.

“Bekalnya kakak taro di meja makan, El!” balas Flora dari dalam kamar.

Setelah berhasil menuruni tangga, Ellia mengambil bekal yang sudah disiapkan oleh Flora. Ia mengambil bag lunch berisi dua kotak bekal di meja makan. Ellia pun memasukkannya ke dalam tas, kemudian bergegas menuju pintu utama.

Tepat setelah keluar dari rumah, netra Ellia langsung tertuju pada sosok Alga yang sedang bersandar pada motornya.

Menyadari kehadiran Ellia, Alga pun menoleh.

“Lama ya?” tanya Ellia seraya menghampiri Alga, lalu mengambil helm yang disodorkan pria itu.

“Lumayan.”

Ellia mendengus atas jawaban tanpa penyangkalan itu, tapi tidak bisa dipungkiri jika senyumnya kian lebar karenanya. Ia mengenakan helmnya dengan sorot mata yang terus tertuju pada Alga. Gerakan Alga yang naik ke atas motor hingga memasang helm, semua itu tak luput dari pandangannya.

Pikirannya terus saja berkelana bahkan setelah motor sudah melaju di jalan raya. Entah karena sugesti dari ucapan Sitha yang menyatakan bahwa Alga mulai menyukainya atau bukan, tapi Ellia jelas mulai menyadari perubahan sikap Alga. Tentang ajakan berangkat bareng yang biasanya tidak pernah ia dapatkan. Dan kejadian tadi malam, saat Ellia baru pulang, lalu bertemu Alga di depan pintu rumah.

“Nganterin kue.”

Juga ucapan kakaknya.

“Kok, dari Alga? Itu kakak yang beli tadi sore buat kamu.”

Kedua hal itu terus terngiang di pikiran Ellia. Dan kedua hal itu pula yang berhasil membuatnya browsing di Internet sampai jam 1 malam. Mencari tahu tentang tanda-tanda orang jatuh cinta. Walaupun hasil pencariannya tidak mengecewakan dan sedikit membuat Ellia senang, tapi ia tidak ingin buru-buru mengambil kesimpulan.

Karena mengambil kesimpulan terlalu dini tanpa bukti konkret adalah bencana yang akan membuatnya kembali terseret pada jurang patah hati. Mungkin dia bisa bersikap baik, tapi kebaikan itu bukanlah landasan untuk menjadikannya tolok ukur kata cinta. Ah, hati manusia itu memang rumit, ya. Andai Ellia punya kemampuan untuk membaca pikiran dan isi hati seseorang, mungkin ia tidak perlu bersusah payah menerka-nerka perubahan pria itu seperti ini.

30 DaysWhere stories live. Discover now