8. Syarat Sebuah Restu

2.4K 297 21
                                    

"Jadi Mama mau menerimaku sebagai menantu jika aku memberikan restu pada Mas Aras untuk menikahi wanita pilihan Mama?"

Duniaku hancur berkeping-keping, namun aku memilih untuk berdiri tegak mempertahankan harga diriku yang tersisa. Satu-satunya yang aku miliki karena di pandangan mata mertuaku seorang yang layak dan patut untuk di hargai adalah seorang yang berharta dan bertahta. Sungguh rasanya aku ingin menangis sekarang ini namun aku memilih memendam semuanya, aku tidak ingin kehancuranku terlihat di hadapan orang-orang yang membenciku.

"Dara, lebih baik kita pulang, Mas akan jelaskan semu....."

Mas Aras mencoba menengahi pembicaraan tanpa basa-basi ini, namun untuk pertama kalinya usai bersama dengan dirinya aku menyelanya, aku tidak mengizinkannya untuk menyelesaikan apa yang dia ucapkan dan aku tidak ingi  mendengar apapun yang dia ucapkan karena bagiku itu semua sama sekali tidak berarti.

Seharusnya aku sudah paham dari awal semenjak Mas Aras mengajakku untuk menemui Ibunya sore tadi, seorang Nyonya Melisa yang selalu menatapku penuh kejijikan seakan aku adalah kotoran yang melekat di sepatunya yang mahal mustahil menerimaku dengan begitu saja.

"Sebentar, Mas. Kamu punya banyak waktu untuk menjelaskannya nanti, tapi sekarang aku ingin meluruskan masalah besar ini dengan Ibu Mertuaku."

Nyonya Melisa, wanita cantik yang terkenal akan kedermawanannya ini menatapku sembari berdesis sinis, stroke yang membuat tubuh beliau kaku separuh ini ternyata tidak membuat hati beliau yang keras melunak, kebencian tampak jelas semakin besar di matanya seakan-akan penyebab sakitnya itu adalah aku yang melakukannya. Bibir beliau sudah tidak jelas saat berbicara tapi ternyata lidah masih sama tajamnya seperti saat beliau sehat.

"Wanita pilihanmu ini benar, Aras. Semuanya harus di luruskan. Wanitamu ini harus paham dengan benar jika apa yang Mama katakan sekarang tentu atas kesepakatan denganmu sebelumnya." Sorot mata tajam Ibu mertuaku terarah pada Mas Aras, mengintimidasi putranya yang kini hanya bisa menyugar wajahnya frustasi, apalagi saat melihat keterkejutanku mendapati jika semua hal gila yang di usulkan oleh Ibu mertuaku ini dengan sepengetahuannya, percayalah, aku merasa di khianati olehnya. Demi Tuhan, seorang madu? Tidak pernah terpikirkan di dalam otakku jika seorang yang mencintaiku dengan sangat besarnya mampu melakukan hal ini kepadaku, menabur garam di atas luka yang baru saja di torehkan, Ibu mertuaku menatap Mas Aras dengan nyalang, murka karena Mas Aras mengelaknya, "Aras!!! Kamu sendiri yang bilang kan kalau kamu akan mengabulkan semua permintaan Mama asalkan Mama semangat untuk sembuh. Kamu tidak ingin Mama mati dengan cepat tanpa memberikan maaf kepadamu yang sudah ratusan kali menorehkan luka hanya karena cinta gila yang kamu miliki terhadap wanita yang tidak Mama sukai. Sekarang Mama mengalah dan akan memberikan Mama restu padamu dan juga Dara, tapi penuhi permintaan Mama terlebih dahulu."

Ibu Mertuaku menatap pada Hana yang ada di sampingnya, dia bersama dengan dua orang perawat lainnya yang memang bertugas merawat Ibu langsung tersenyum, saat tangan tua tersebut terulur dan meraih dalam genggamannya hatiku luar biasa sakitnya. Sehebat itu kekuatan seorang yang berharta dan terhormat, tanpa perlu melakukan apapun dokter Hana langsung mendapatkan kasih sayang Ibu mertuaku.

Sakit, mataku bahkan sudah buram karena menahan air mata yang siap tumpah ruah karena hatiku yang tergores dengan sangat dalamnya.

"Keinginan Mama sederhana, Aras. Menikahlah dengan Hana, jadikan Hana menantu Mama, Mama sudah sayang sekali dengannya. Dia yang paling mengerti Mama, dan bisa memahami Mama. Sesulit itukah Ras mengabulkan permintaan Mama yang sederhana ini? 29 tahun kamu hidup di dunia ini Mama nggak pernah meminta apapun dan hanya ini yang Mama minta darimu."

Finish, aku benar-benar selesai dengan semua kesabaranku saat Mas Aras terdiam. Selama ini dia selalu lantang membelaku tapi di hadapan Ibunya sekarang ini yang tengah sakit dia tidak bisa berbuat apapun lagi.

Di sini pendapatku sama sekali tidak pedulikan, apalagi perasaanku. Kebahagiaan yang aku rasakan saat aku datang ke tempat ini hanya berakhir dengan luka baru yang lainnya. Aku di undang hanya untuk penghinaan yang kesekian kalinya.

Aku menatap Hana, dokter cantik dengan segala kelebihannya yang ada di atasku, tidak ada sedikitpun kecanggungan di dirinya saat tahu jika Mas Aras memiliki aku, dia tersenyum malu-malu menunjukkan betapa bahagianya dia mendapatkan dukungan dari calon mertua untuk bisa bersanding dengan Mas Aras.

Aku menarik nafas masygul, "baiklah, silahkan menikah lagi, Mas. Dan Ibu Melisa, saya sudah tidak ingin restu dari Anda lagi. Im done!"

Ya, saat aku berbalik. Aku sudah selesai dengan segala kebodohanku yang mau-maunya saja di tempatkan di posisi serba salah ini.

Tidak peduli teriakan dari Mas Aras yang memanggil namaku bersahutan dengan suara cadel Ibu mertuaku yang meronta, aku terus berjalan. Aku menggantungkan seluruh duniaku pada seorang Aras Respati, tapi kini cinta yang membuatku bodoh tersebut hanya melukaiku. Karena harta dan kekuasaan tidak aku miliki di tanganku aku menjadi seorang yang tersingkir bak seorang penjahat.

Dalam langkahku pergi meninggalkan rumah sakit aku membuka layar ponselku dan mengetikan kata pada mesin pencarian pintar.

Syarat sah seorang istri untuk menggugat talak dalam pernikahan siri.

Selama ini aku bertahan karena aku yakin akulah satu-satunya di dalam hati suamiku, tapi sekarang dengan kesanggupannya untuk menikahi wanita lain demi baktinya kepada Ibunya, aku merasa sudah tidak ada lagi yang perlu di pertahankan. Aahhh, tidak akan ada madu karena aku akan memberikan semua keinginan Ibu Mertuaku tanpa syarat apapun.

Dalam angkutan umum yang membawaku pulang aku terus termenung, memikirkan segala kebodohanku selama ini yang mau saja di sembunyikan oleh Aras dengan dalih cinta. Aku terlalu bergantung padanya, aku terpuruk pada ketakutan akan kejamnya dunia jika aku hanya sendirian. Kini kebodohanku pada akhirnya merugikan diriku sendiri. Hanya aku yang rugi tidak dengan Mas Aras. Dia tetap akan menjadi seorang Perjaka tanpa ada noda dari masalalunya sementara aku?

Banyak tatapan mata tertuju padaku melihatku menangis dengan sangat menyedihkan, aku sudah tidak memiliki siapapun untuk menjadi tempat bersandar dan berbagi maka biarlah air mata ini menjadi pengurang rasa sakit hatiku. Tentang tatapan semua orang yang memandangku iba dan penuh kesinisan, biarkan saja aku menjadi hiburan mereka yang penasaran.

Aku berjanji ini adalah tangis terakhirku untuk kebodohanku selama ini. Selama ini aku sudah cukup berjuang dan saat apa yang aku harapkan tidak bisa di genggam, bukankah lebih baik jika kita melepasnya, bukan?

Cinta, dua mata pisau dalam lika-liku kehidupan. Jika tidak membahagiakan maka akan menyakitkan dan itulah yang aku rasakan sekarang.

....

Pengantin Simpanan Where stories live. Discover now