17. Hidup kedua

3.2K 371 34
                                    

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.


Holllaaaaa, ketemu lagi sama Dara.
Yuk yang punya aplikasi KBM dan Karyakarsa bisa ikuti Dara di sana juga
Happy reading semuanya
Enjooy

"Dara...."

"Ngomong sama siapa kamu ini, dek?"

"Itu loh matanya Dara kebuka, Mi!"

"Ngaco kamu, kecapekan ngurusin nasabah yang mau pengajuan kredit makanya ngawur!"

"Nggaklah, Mi. Ini beneran, Bang Benny, itu coba lihat, Dara beneran bangun, kan?"

Mataku terasa begitu berat untuk terbuka, dan saat akhirnya mataku bisa terbuka, silau cahaya masuk ke dalam mataku membuatku buta untuk sementara tidak bisa melihat apapun namun walau mataku tidak bekerja dengan baik aku masih bisa mendengar orang-orang berbicara dengan jelas.

Suara Retno dan dua suara asing lainnya terdengar saling bersahutan sebelum akhirnya aku mendengar langkah kaki yang mendekat.

"Tuhkan apa Retno bilang!" Pekikan bahagia terdengar dari sisi kananku, ingin rasanya aku menggerakkan wajahku ke arah kiri di mana suara Retno berasal tapi rasanya kepalaku kaku untuk bergerak.

"Alhamdulillah, benar Mi. Retno nggak nggak bercanda!"

Kembali, suara langkah kaki tidak sabar mendekat, dan tepukan keras yang membuatku meringis terdengar, "ya udah kalo gitu cepet panggil dokter, tuh tombolnya, kok kamu ketularan pilon-nya adek sih, Ben!"

Riuh yang terdengar membuatku ingin tertawa, keakraban di antara keluarga yang begitu hangat membuatku teringat pada keluargaku dulu, sungguh membuatku rindu pada keluarga yang sudah meninggalkanku. Dalam tidurku yang sangat panjang aku sempat melihat kedua orangtuaku, hanya sekelebat saja namun menambah rinduku menjadi semakin menggunung. Air mata tanpa aku sadari menetes tanpa bisa aku cegah, menyadari jika aku baru saja begitu dekat dengan kematian.

Di tengah hidupku yang berantakan karena kebodohanku akan cinta, nyatanya Tuhan masih memberikan kesempatan untukku hidup kedua kalinya. Kali ini aku berjanji pada diriku sendiri jika aku akan menghargai hidup yang Allah berikan ini sebaik mungkin. Tidak seperti sebelumnya di mana aku menyia-nyiakan diriku sendiri demi orang lain yang bahkan tidak bisa memperjuangkanku.

Mungkin memang hanya sampai di titik ini jodohku dengan Suamiku. Kini aku sampai di titik di mana aku sudah merelakan segalanya.

Entah karena air mata atau ada keajaiban yang lainnya, mataku yang sempat buta tidak bisa melihat apapun perlahan mulai bisa melihat sosok-sosok yang kini mengelilingiku, aku melihat Retno, Bang Benny, dan sosok paruh baya seusia almarhumah Ibu, untuk beberapa saat aku mencari-cari di antara mereka sosok Mas Aras yang tidak terlihat, tapi itu sebelum dokter mengerubungiku untuk mengecek segala hal pada tubuhku yang aku sendiri tidak tahu seberapa parahnya luka yang aku derita.

Satu hal yang aku ingat hanyalah penyebabku terbaring di ranjang rumah sakit ini karena ulah seorang yang sangat tidak bertanggungjawab dalam membawa mobilnya. Aku berharap semua hal yang terjadi padaku hanyalah sebuah kecelakaan tanpa ada unsur kesengajaan.

Banyak hal yang menjadi tanda tanya untukku, tapi aku tidak perlu terburu-buru untuk mencari jawabannya, aku punya waktu yang sangat banyak untuk memperbaiki hidupku yang berantakan. Dan langkah pertama yang harus aku ambil adalah memulihkan keadaanku terlebih dahulu, karena setelah ini aku akan mendengar banyak hal yang menguras emosi.

......................... ..............................................

"Jadi aku koma selama lebih dari tiga bulan?"

Sebisa mungkin aku bertanya secara normal pada Retno, namun tetap saja suaraku lebih seperti seorang yang tengah membentak di bandingkan bertanya, sungguh aku memang manusia yang sangat tidak tahu diri. Syukurlah orang yang aku bentak barusan adalah Retno, jika orang lain yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan serupa seperti ini sudah pasti aku akan di dorong biar nyusruk sekalian dari kursi rodaku.

Alih-alih marah Retno justru tertawa, "lebih tepatnya 112 hari, Ra. Sumpah antara aku, Bang Benny dan juga Mami, kita bertiga udah kayak penghuni tetap rumah sakit ini." Gelak tawa khas seorang Retno mengudara, tapi tawa tersebut justru membuatku merasa tidak enak, sungguh aku merasa aku telah merepotkan keluarga Retno, dari dokter dan suster yang merawatku, aku tahu jika ketiga orang yang tidak memiliki hubungan darah dan persaudaraan denganku tersebutlah yang merawatku selama ini.

Mereka benar-benar merawatku semenjak kejadian tabrak lari yang membuatku harus operasi karena pendarahan di kepalaku dan juga kehilangan calon bayiku, aku benar-benar ibu yang buruk, karena sama sekali tidak menyadari empat bulan penuh ada nyawa lain yang membersamai hidupku. Aku tahu kehadirannya di saat aku tahu aku telah kehilangannya. Takdir seakan lebih tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya, karena seandainya buah hatiku lahir hanya nestapa yang akan di dapatkan. Dia akan di sebut anak haram karena tidak bisa mencantumkan nama Ayahnya dan tumbuh dalam keluarga yang pincang. Ya, mungkin memang inilah skenario terbaik dalam hidupnya.

"Bengong lagi, jangan kebanyakan bengong, Ra. Nggak baik, apa masih kurang bobok tiga bulan lebih sampai sekarang di suruh berjemur pun masih bengong." Teguran dari Retno yang kini duduk di beton pembatas taman membuatku menatap ke arahnya, rutinitas Retno setiap sabtu dan minggu pagi memang seperti ini, dia akan datang untuk menemaniku bergantian dengan Mami, Ibunya yang tidak kalah supel dengan Retno, untuk menjagaku.

Awalnya aku agak canggung saat Maminya Retno menemaniku, benar-benar definisi menemani yang sesungguhnya dan dalam segala hal, bukan hanya sekedar duduk di ruang kamar rawatku, beliau menemaniku tes, cek, terapi, bahkan belajar ke kamar kecil hingga aku benar-benar tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata rasa terimakasihku. Tidak hanya menemani menyembuhkan luka fisikku, tapi Tante Nurul juga menyembuhkan luka batinku. Trauma akibat dari kehilangan orangtua yang membuatku begitu bergantung pada Mas Aras perlahan sembuh, kini aku bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Kehidupan ini milikku, akulah yang mengendalikannya, jika sudah tidak ada manusia untuk bersandar, maka masih ada sajadah untuk bersujud, mencintai dan berjuang itu satu paket, jika sudah tidak sejalan pada akhirnya kalian berdua hanya akan saling menyakiti satu sama lain, lebih dari pada orang lain, kadang-kadang kita harus lebih mencintai diri kita sendiri, kata-kata Tante Nurul itulah yang akhirnya membuatku memutuskan untuk lebih merelakan segalanya. Bahkan nyaris empat bulan penuh aku menjadi penghuni rumah sakit ini, aku tidak melihat Mas Aras, aku pun tidak berniat untuk mencari atau menghubunginya karena ponselku hilang entah kemana, yang aku fokuskan sekarang adalah kesehatanku agar aku tidak menyusahkan keluarga Malik ini lebih jauh.

Aku meraih tangan Retno, menggenggamnya erat dan menyandarkan kepalaku yang kini hanya berhias rambut pendek kepadanya, "Retno, makasih banyak untuk semuanya, ya. Terimakasih sudah nolongin aku hingga aku pulih seperti semula, kayaknya seumur hidup pun aku nggak cukup untuk balas budi terhadap keluarga kamu."

Seperti seorang Kakak yang baru saja mendengarkan ucapan terimakasih adiknya, Retno mengusap kepalaku penuh sayang, mahkota indah yang dulu sering aku kagumi saat berhias kini penuh luka akibat operasi.

"Kamu bisa membalasnya dengan berjanji hidup dengan baik, Dara. Sudah cukup kamu memberikan hidupmu pada orang lain yang tidak pantas untuk kamu cintai, hiduplah bahagia untuk dirimu sendiri. Kamu hanya perlu membuka mata lebih lebar dan kamu akan menemukan begitu banyak kepedulian di sekelilingmu."

".............."

"Kamu tidak sendirian di dunia ini, tidak hanya ada Aras di hidupmu, ada aku, ada Mami, ada Papi, ada Bang Benny juga. Kita adalah sebagain kecil orang yang bersedia memberikan telinga kami jika kamu ingin bercerita."

"................."

"Jadi please, cintai diri kamu sendiri lebih dulu, ya."

Pengantin Simpanan Donde viven las historias. Descúbrelo ahora