19. Hadiah Selamat Datang

2.9K 368 21
                                    

"Akhirnya, welcome to home sweet home. Gimana, oke kan penyambutan kita."

Hari ini akhirnya aku di perbolehkan pulang oleh dokter, sungguh melegakan akhirnya bisa keluar dari kamar rumah sakit yang sudah membuatku terbiasa dengan bau karbol dan juga etanol, sebelum pulang aku meminta tolong pada Retno untuk mencarikan pembantu yang tugasnya membersihkan rumah yang nyaris tidak aku huni nyaris lima bulan, dan siapa yang menyangka jika bayangan rumah penuh debu dan suram karena lama di tinggalkan sama sekali tidak ada.

Aku tidak pulang kemana-mana. Aku pulang ke rumah kontrakan yang sudah aku dan Mas Aras bayar selama dua tahun ini, ada rasa haru yang menyeruak saat akhirnya aku menginjakkan kaki kembali ke rumah ini, rumah ini menyimpan bahagia dan duka di saat bersamaan.

Jika biasanya aku masuk ke rumah maka sepi yang akan menyambutku, maka kepulanganku kali ini terasa berbeda, ada keluarga Retno lengkap, Mami, Papi, Bang Benny yang lagi-lagi masih mengenakan seragamnya, ada Yusuf, Larasati, Mbak Marini, bahkan Pak RT Jamal dan beberapa warga lainnya pun turut menyambutku.

Meja dan kursi ruang tamu di dorong ke pinggir untuk menggelar tikar lebar yang berisikan makanan ringan, aaah manis sekali orang-orang ini.

"Alhamdulillah, akhirnya Mbak Dara pulang ke rumah. Ibu kangen tahu sama Mbak Dara, biasanya Mbak Dara jadi komentator paling sip buat masakan saya." Ibu Haji Jamal memelukku dengan erat, sungguh rasanya aku terharu dengan sikap hangat para warga di sini, sikap baikku yang tidak seberapa di balas berkali-kali lipat. "Maaf ya Mbak Dara kalau kita lancang obrak-abrik rumahnya, tapi waktu Mbak Juminten bersih-bersih rumah katanya Mbak mau pulang, tiba-tiba saja ibu-ibu di sini punya ide buat bikin syukuran selamat datang."

Astaga, bagaimana aku tidak terharu dengan semua perhatian ini? Tentu saja sikap baik dan hangat para warga kanan kiriku ini aku balas dengan penuh terimakasih. Selama berbincang dengan mereka pun hanya kabar dan keadaanku yang mereka tanyakan, tidak ada yang membahas dengan absennya Mas Aras, mereka semua seakan tahu apa yang terjadi di dalam rumah tanggaku hingga saat berhati-hati untuk tidak membahas hal sensitif tersebut.

Beberapa waktu kami saling berbincang, mereka semua mendoakan kesembuhanku hingga satu persatu mereka berpamitan untuk pulang, bukan hanya tetanggaku, tapi juga rekan-rekan kerjaku, salah satunya Mbak Marini, walaupun dia adalah salah satu orang yang seringkali mengumpati kami apalagi jika ada yang tidak beres, namun beliau jugalah yang memelukku erat-erat sekarang ini, "Ra, cepet sembuh dan balik ke kantor, ya. Jantung Mbak rasanya mau copot setiap kali inget hari nahas itu, sehat-sehat ya, Ra. Mbak cuma bisa doain semoga semuanya lebih baik ya."

Benar yang di katakan Retno dan Mami Nurul, di sekeliling kita ada begitu banyak orang yang peduli dan menyayangi kita, yang perlu kita lakukan hanya membuka mata lebih lebar untuk melihat semua kepedulian tersebut. Bodoh sekali rasanya diriku ini, menyia-nyiakan hidupku yang berharga demi cinta yang berwujud seorang Aras Respati, pria yang aku jadikan pusat duniaku namun tidak mampu memperjuangkanku.

Mengingat sosok Mas Aras membuatku reflek menoleh ke arah potretku dan dirinya yang terpajang di ruang keluarga, sosoknya yang tampan tampak gagah dalam seragam Tentaranya dan aku yang mengenakan kebaya batik, aku masih ingat betul kapan potret itu di ambil, potret di mana dia lulus dari Akmil dan kami sepakat untuk mengambil potret bersama sebagai kenangan kami berdua berjuang dan tetap bersama-sama.

Sungguh manis kenangan tersebut, tapi pada akhirnya aku tidak bisa terus mendampinginya, tidak saat akhirnya dia menjadi suami orang lain.

"Kamu mau nurunin foto itu, Ra?" Tanya Retno dan Mami Nurul yang ada di sebelahku seakan mereka tahu apa yang tengah bergejolak di dalam kepalaku.

"Pikirkan baik-baik, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Walau bagaimana pun di dalam agama, dia masih sah suamimu, Dara." Mami Nurul, sosok penyembuh yang setiap ucapannya begitu adem tersebut mengingatkanku tentang segala resiko yang akan aku dapat atas setiap pilihan yang aku ambil. aaah sungguh beruntung orang-orang yang akan menjadi menantu beliau, beliau berdiri sebagai Orangtua yang menjadi penengah bukan seorang yang ikut campur setiap masalah.

"Turunin ajalah, Mi. Rasanya nggak nyaman majang potret calon suami orang." Kelakarku sembari tertawa yang justru membuat mereka semua menatapku dengan rasa miris yang membuatku risih.

"Ya sudah, biar Papi sama Benny yang lepasin." Akhirnya Papi Malik turut angkat suara, bersama dengan Bang Benny beliau menurunkan potret besar tersebut dan langsung membawanya ke belakang. Ada perasaan tidak rela, tapi hidup terus berlanjut, aku sudah memutuskan untuk mundur dan aku tidak ingin semua kenangan ini membuatku ragu. Pada akhirnya Mas Aras akan menikah dengan pilihan orangtuanya, dan aku tidak akan pernah mendapatkan status istri sah seperti yang dia janjikan. Aku memilih mundur karena aku enggan di sebut orang ketiga sementara aku adalah yang pertama dalam hidupnya.

Tidak hanya potret besar tersebut, dengan kardus mie instan yang di bawa oleh Mbak Juminten, ART yang kini bekerja padaku, aku membereskan sisa-sisa barang milik Mas Aras, pakaiannya sudah tidak ada lagi di rumah ini, namun foto-foto dan segala hal yang mengikatku dengannya masih tersisa. Di bantu oleh Retno dan Mami Nurul kami membersihkannya.

Dan kini, rumah kontrakan ini benar-benar bersih dari bayang-bayang pria yang beberapa hari lagi akan menikah, rumah ini bukan lagi rumah Aras dan Dara melainkan rumah Dara seorang.

"Terimakasih ya Mi sudah bantuin Dara." Kardus itu akhirnya di tutup oleh Mami Nurul, dan saat mendapatkan ucapan terimakasihku, wanita berwibawa dengan kecantikan yang tidak lekang di makan usia tersebut menyentuh ujung daguku. "Dara bukan siapa-siapa tapi Mami sama Papi dan juga Retno sama Bang Benny bantuin Dara sampai sejauh ini."

"Tidak perlu menjadi siapa-siapa untuk membantu seseorang, Dara. Berhenti berterimakasih terus menerus seperti ini atau Mami bakal marah sama kamu." Tentu saja ancaman Mami Nurul ini sama sekali tidak serius karena berikutnya Mami Nurul pun tertawa sembari menggamit lenganku. Aku pernah merasakan duniaku gelap gulita saat Ayah dan Ibu meninggalkanku tanpa berpamitan, dan melalui keluarga Retno aku menemukan kehangatan keluarga yang baru.

"Cuma Mami nih yang di peluk, aku nggak?" Merengek seperti seorang bocah, Retno nyempil di antara kami, membuat suasana mellow yang sempat terasa kini kembali penuh dengan tawa. Aaahhh, rasa bahagia bersama dengan Retno dan keluarganya ini membuatku perlahan melupakan jika belahan hatiku di luar sana tengah bersiap menuju mahligai pernikahan keduanya.

Mungkin aku akan lupa tentang hal itu jika saja Bang Benny tidak memberiku sebuah kotak yang saat aku buka ternyata berisikan kebaya indah berwarna peach yang sangat manis.

"Itu hadiah selamat datang dari Abang biar bisa kamu pakai saat datang ke acaranya Aras sama Papi Mami dan juga Retno."

"..............."

"Seperti yang di katakan oleh Retno, kamu harus jadi spotligt-nya, Dara. Bukan untuk merusak pernikahan mereka tapi untuk menunjukkan pada orang-orang yang sudah menghinamu jika kamu akan tetap bersinar tanpa seorang Aras Respati."

Pengantin Simpanan Where stories live. Discover now