13. Membalas Hinaan

2.8K 344 24
                                    

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.


"Aku sudah mulai bersiap untuk mengurus pengajuan nikah dengan Aras."

Tanpa basa-basi sama sekali seperti yang aku minta kepadanya, tepat saat kami mendudukkan diri di salah satu rumah makan yang ada di depan Kantorku, dokter cantik yang hendak mendalami spesialis jantung ini langsung mengungkapkan apa yang menjadi tujuannya datang menemuiku.

Aaahhh, bisa aku bayangkan jika selama perjalanan untuk menemuiku sudah pasti Hana ini tidak sabar untuk memberitahukan kabar gembira ini kepadaku, ya kabar gembira untuknya tapi tidak untukku, tapi jangan berharap jika aku akan menangis dan meratap di hadapannya, alih-alih terkejut dan memakinya aku justru menopangkan daguku dan melihatnya penuh dengan minat.

Ternyata ada keuntungannya juga menjadi seorang teller Bank yang di tuntut untuk ramah kepada setiap orang karena pengendalian diriku patut di acungi jempol. Yah, berbicara dengan tenang saat berhadapan dengan seorang wanita yang terang-terangan menginginkan suami kita saja sudah menjadi pencapaian yang luar biasa.

"Waaah, congrats kalau begitu. Semoga lancar sampai hari H. Pasti kamu senangkan? Iya dong,

pastinya." Tanggapku seadanya membuat wajah cantik di hadapanku masam, benar-benar membuat wajahnya yang cantik menjadi buruk dalam sekejap. Ya, mungkin tujuannya datang untuk memanas-manasiku tapi usahanya gagal total. Mungkin Hana kira aku sekarang akan mengamuk karena suamiku benar-benar akan menikahinya, sayangnya aku tidak bereaksi seperti yang dia harapkan.

"Kamu nggak keberatan suamimu menikah lagi?"

Pertanyaan yang terucap dari bibir seorang yang pintar seperti Hana ini membuatku tertawa keras, benar-benar tawa yang membuat perutku geli hingga terasa kaku, perlu beberapa saat untuk akhirnya aku bisa menguasai diri dan menghentikan tawa. Astaga, konyol sekali. Bahkan air mataku menetes saking gelinya aku terhadap pertanyaan bodoh ini.

"Tentu saja aku keberatan suamiku menikah lagi, dokter Hana."

"Lantas kenapa kamu tidak marah kepada saya dan malah memberikan selamat?!"

"Memangnya kalau saya marah terhadap Anda ada hal yang akan berubah? Apa dengan saya marah-marah dengan kabar yang Anda bawa sekarang ini akan membuat Anda pergi dari kehidupan saya dan suami saya?! Apa saat Anda tahu jika kehadiran Anda dan perjodohan konyol yang di sodorkan oleh Ibu mertuaku menyakiti saya Anda akan mundur?"

Senyuman yang sebelumnya tersungging di bibirku seketika menghilang, mataku menatapnya tajam menunjukkan keseriusan akan setiap kata yang aku ucapkan. Jika Hana ingin adu mental dan ingin mengintimidasiku dengan segala hal yang dia miliki maka dia salah besar, kesabaran yang dia miliki belum ada seujung kuku-ku.

"Intinya apa pun yang terjadi di antara Anda dan suami saya itu bukan urusan saya begitu juga sebaliknya, dokter Hana. Saya marah kepada suami saya, of course! Saya mencintai suami saya tentu saja saya marah dengan keputusannya ini, perlu Anda garis bawahi, saya marah kepada suami saya, dan amat sangat tidak penting marah kepada Anda karena hal itu adalah sesuatu yang sia-sia."

"Jaga ucapan Anda Mbak Dara, saya datang menemui Anda dengan maksud baik." Lah marah beneran kan, baru juga aku ngomong sepotong, dokter Hana sudah kehilangan kesabarannya.

"Maksud baik? Nggak salah? Ya kali maksud baik di awali dengan kabar Anda akan mengurus pernikahan dengan suami saya." Balasku tidak kalah sarkas. "Kehadiran Anda di antara saya dan Aras saja bukan hal yang baik, dokter Hana. Anda tahu jika Aras memiliki saya dan menerima perjodohan kalian hanya demi Ibunya tapi Anda sama sekali tidak peduli dengan hal tersebut, dari situ saja sudah menunjukkan bagaimana hati Anda, dokter Hana. Anda seorang yang egois, dan tidak punya hati. Anda hanya memikirkan diri Anda sendiri tanpa peduli perasaan orang lain."

Dengan kesabaran seorang Teller yang selalu di tuntut untuk memamerkan senyuman lebar 100 watt aku menjelaskan jawaban atas rasa penasarannya terhadap jawabanku sebelumnya, dan semakin aku berbicara semakin merah wajah dokter Hana menahan kekesalan yang semakin menggunung.

Melihatnya terdiam tidak bisa berkata-kata membuatku merasa tidak ada lagi yang perlu di bicarakan, sembari melirik jam tanganku aku pun bangkit, hanya tinggal 5 menit sebelum jam operasional kembali.

"Saat Anda bilang ada banyak hal yang perlu di bicarakan tentang suamiku, saya kira ada hal penting yang akan saya dengar, ternyata oh ternyata cuma kabar kalian sudah mengurus syarat pengajuan nikah toh. Ya sudah ya dok kalau begitu, saya pamit dulu. Saya mau kerja, soalnya saya nggak pinter lobby calon mertua kayak dokter."

"Tinggalkan Aras. Toh kamu hanya seorang wanita yang di nikahinya secara siri, kamu bahkan di sembunyikan olehnya dari dunia. Kehadiranmu tidak berpengaruh apapun dalam hidup Aras. Kamu pikir dengan kamu menyebut Aras suamimu berulangkali di hadapanku akan membuatku berkecil hati? Tidak!"

Aku sudah berdiri dan bersiap untuk melangkah pergi, tapi suara dingin sama seperti yang aku pakai saat berbicara dengannya terdengar, oooh rupanya dokter satu ini hendak menunjukkan taringnya. Kedua tanganku terkepal, bohong jika aku tidak murka dengan apa yang dia ucapkan barusan, semua yang dia katakan memang benar, segala hal yang akan dia dapatkan nanti memang membuatku iri.

Dokter Hana bangkit, dia berdiri di hadapanku, sekalipun dia menggunakan heels yang tingginya tidak masuk akal untuk seorang dokter yang di tuntut untuk bergerak gesit namun dia tidak bisa mengimbangi tinggiku, dia gagal mengintimidasiku.

"Kamu hanya istri siri sedangkan aku yang akan di sebut sebagai Nyonya Aras Respati. Aku memiliki restu dari orangtua Aras sedangkan kamu....."

"Aku memiliki Aras, raganya, hatinya, dan cintanya." Potongku tanpa mengizinkannya untuk menyelesaikan kalimatnya, satu langkah aku ambil semakin mendekat kepadanya mengikis jarak di antara kami, dokter Hana salah memilih lawan, "semua hal yang aku sebutkan tadi adalah hal yang tidak akan pernah kamu dapatkan dari pernikahanmu nantinya. Kalau kamu bukan seorang dokter dan putri dari orang yang berpengaruh, aku yakin sambutan Ibu mertuaku akan sama seperti yang aku dapatkan sekarang. Kamu tahu dokter Hana, tanpa perlu kamu memintaku pun aku berniat pergi dari Aras, sayangnya pria yang kamu inginkan itu bersikeras memintaku untuk tetap tinggal. Bisa apa aku jika sudah seperti ini? Jika aku nekad menuntut cerai darinya sementara dia tidak mau menceritakanku, aku perlu sidang itsbat yang akan menghancurkan kariernya yang akan membuatmu bangga menjadi Nyonya Aras Respati."

Aku mengulurkan tanganku, merapikan kemejanya yang sebenarnya masih rapi dan licin, "awalnya aku berniat mundur dari pernikahan siri yang kamu hina ini, dokter Hana. Aku sangat kasihan jika sampai kamu menikah dan hanya akan mendapatkan kesakitan mengingat Aras sama sekali tidak mencintaimu, sayangnya sikapmu barusan membuatku berpikir ulang untuk pergi dari hidup Aras. Aku kira kamu baik, ternyata kamu tokoh antagonis."

".............."

"Jangan terlalu berbangga diri di hadapanku dokter Hana. Di sini aku yang menentukan permainan, bukan kalian."

Pengantin Simpanan Où les histoires vivent. Découvrez maintenant