2. Masyarakat Serampangan

377 71 15
                                    

•• ────── ••

Korupsi, kriminalitas, vandalisme, pelacuran, homoseksual, pergaulan bebas, radikalisme remaja, adalah masalah sosial yang ditimbulkan oleh berbagai ketimpangan masyarakat.

Fakta bahwa ada pemilik pondok pesantren dan tokoh keagamaan yang melacurkan santriwatinya, bayi yang diperkosa, anak kandung yang dijadikan gendik Ayahnya, wanita lansia yang dirudapaksa, perempuan berhijab yang direnggut kehormatannya, hewan tak berdosa yang menjadi sasaran pikiran kotor pria, sampai benda mati pun dibayangkan selangkangan gadis remaja. Itu semua seolah menjadi aksi kriminalitas yang diwajarkan dalam kehidupan masyarakat serampangan kita.

Namaku Wihelmina Gayatri, Ibu bilang namaku cantik karena dia sendiri yang memberi. Saat aku tanya apa artinya, Ibu dengan bangga menjelaskan bahwa Wihelmina Gayatri berarti seorang gadis suci yang kelak tumbuh menjadi pelindung bertekad kuat. Aku ikut senang saat Ibu bercerita dengan raut wajah bahagia. Saat itu aku hanya anak kecil berumur tujuh tahun yang haus perhatian dan kasih sayang, sama sekali tak menghiraukan luka goresan panjang di tangan Ibu, atau luka lebam yang menghiasi wajahnya.

Ibu selalu bilang dia baik-baik saja. Itu sebabnya aku tak mau menanyakan hal yang akan membuatnya menangis seperti malam-malam sebelumnya. Dia Ibu yang baik, meski kerapkali menyabet punggungku dengan gagang sapu ijuk, atau menampar pipiku tanpa alasan, aku tahu dia sebenarnya sangat menyayangiku.

Di satu malam itu aku kembali mendengar tangisan Ibu yang menjadi-jadi, Ayah terus mencaci Ibu dengan kata-kata yang sulit dimengerti, kelak aku ketahui merupakan suatu kata umpatan dan hinaan terhadap kaum wanita. Bukan sekali ini Ayah menempelkan cap ‘pelacur’ di kening Ibu, menyebut Ibu perempuan murah dan tak berpendidikan sembari meninju tulang rahang Ibu yang terlihat tak berdaya. Tangan Ayah yang lain juga senang menarik rambut Ibu kuat-kuat. Aku menyaksikan semuanya dengan mata memerah karena tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Akhirnya Ayah menarik lenganku kasar, menyeret tubuhku paksa ke arah dinding dan membenturkan kepalaku di sana. Ibu bangkit dan menahan Ayah yang ingin mengulangi adegan tadi. Aku melihat gejolak emosi dari mata mereka berdua.

“Gue mau kita cerai! Gue bakal sekolahin Wihel sampai kuliah!”

“Alah, anak perek begini mau dikuliahin? Buang-buang duit! Paling gedenya juga jadi lont* kayak Ibunya!”

Ibu nampak tidak peduli. Dia tersenyum ke arahku dan mengambil satu tas ransel, lalu memasukkan beberapa potong pakaian ke dalamnya untuk kami berdua. Tak lupa ia memberiku satu boneka kura-kura agar aku sedikit lebih tenang. “Wihel enggak boleh ikut-ikutan kerja kayak Ibu, ya, Nak.”

Aku melihat Ayah. Di tangannya terdapat pecahan botol yang dilumuri darah kental, setelah sebelumnya mendaratkan botol yang masih utuh pada kepala Ibu di hadapanku. Ibu tak banyak bicara setelahnya. Dia tak memaki Ayah, atau berlaku sarkas kepadanya. Ibu hanya memejamkan mata masih sambil memegang jemariku dalam diam.

Aku terlambat menyadarinya. Malam itu adalah malam terakhir aku memegang lengan Ibu dengan erat. Aku tak akan bisa lagi melihat raut wajahnya yang cantik saat menjemur pakaian di halaman rumah, atau wajah bahagianya ketika memasak di dapur. Atmosfer rumah terasa gelap dan redup. Pemakaman memang selalu menghadirkan isak tangis, kan? Sayangnya, di pemakaman Ibu tak ada sanak saudara yang menangisi kepergiannya. Ayah juga menghilang entah kemana.

Ayah meninggal dua tahun setelah Ibu. Menurut pengakuan pihak kepolisian, Ayah sengaja menelan cairan obat nyamuk di sel tahanan sampai meregang nyawa. Aku pun resmi sebagai anak yatim-piatu, hak asuhku jatuh kepada keluarga Ibuku yang tinggal di pinggiran Jakarta Pusat.

Aku berkenalan dengan Karin saat usiaku menginjak dua belas tahun. Dia gadis periang yang ramah terhadap siapa saja. Kami berteman akrab sampai sekarang.

Omong-omong ujian sekolahku sudah berakhir seminggu lalu, dan sebentar lagi PPDB online untuk masuk sekolah kejuruan akan dibuka. Akhir-akhir ini juga aku lebih sering mampir ke rumah Karin dibanding biasanya.

“Karin, aku udah mantap mau masuk SMK, tapi aku masih bingung mau pilih jurusan apa. Ada saran enggak?” tanyaku.

“Lo nanya gue? Emangnya gue sekolah?” Karin malah balik memberiku pertanyaan retoris.

“Ya, kali aja kamu punya referensi gitu. Atau, kepengen aku masuk satu jurusan tertentu.” Aku memancingnya.

“Lo senengnya di bidang apa? Usahain sesuai sama bakat aja.” Dia menaruh lipstik di tangannya pada meja rias lalu berjalan ke arahku.

“Aku suka nulis cerita ....”

Karin duduk di sampingku, wajahnya seperti orang berpikir keras. “Selama ini lo dimana? Maksud gue, mungkin hati lo ada di hal-hal yang selama ini deket sama kehidupan sehari-hari. Misal—“

“Hotel. Kan aku saban hari nemenin kamu terus ke hotel-hotel di Jakarta,” aku menyela pembicaraan.

“Nah! Kenapa enggak masuk perhotelan aja? Gue emang enggak tau di sana bakal belajar apa, tapi pasti hotel dalam kamus pendidikan bakal beda sama hotel remang-remang yang selama ini kita kenal, Wihel.” Akhirnya kerutan di dahinya menghilang, dia berteriak girang.

“Kamu enggak takut aku terjerumus? Gimanapun, hotel udah bikin stigma negatif di pikiran masyarakat. Bisa aja nanti aku dikira kerja jadi cewek malem.”

“Gue percaya sama lo. Gue tau lo bisa jaga diri baik-baik.”

“Aku enggak yakin keluarga Ibu setuju aku masuk hotel. Apalagi biayanya enggak sedikit,” lirihku.

Karin menepuk pundakku lembut. “Cari sekolah negeri, insyaallah dipermudah. Paling keluar duit buat seragam sama keperluan sekolah aja. Nanti gue sama anak-anak lain bakal bantu.”

“Makasih, ya ... semoga aku enggak kecewain kalian nanti.” Aku mengelus punggung tangannya sebentar, berkata tulus dari dalam hati.

“Astaga, Wihel! Lo enggak pernah ngecewain siapapun!” Karin mengapit leherku di lengannya. Wajahku sengaja dihadapkan pada ketiaknya. “Duh, aduh, adek kesayangan gue bentar lagi jadi gadis perhotelan. Jangan lupain gue, ya~”

Aku tertawa karena ulahnya. Berbicara dengan Karin memang selalu menenangkan jiwaku yang gundah. Entah ada magnet apa dalam perkataannya sehingga mampu membangun kepercayaan diriku yang lebur di permukaan. Aku betul-betul beruntung bisa mengenal sosoknya.

•• ────── ••

a/n:

Setiap orang punya jalan hidup dan bebannya masing-masing.. Semangat terus jalanin hari, walau kadang dunia pengen banget kita maki 3B, "bedebah, bangsat, badjingan!"

Vote, komen jangan lupa (hehe) 💌

Maître D'Hôtel ; JangkkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang