18. Sifat Manusia

101 20 0
                                    

Vote dan komen jangan lupa 💚

•• ────── ••

Dering alarm terdengar jelas di pendengaranku, mata ini perlahan terbuka dan mengerjap beberapa kali sebelum meraba sekitar tuk menemukan ponsel yang kini terus mendengungkan semangat pagi. Pukul empat lewat dua puluh, jam yang sejujurnya masih terlalu dini memulai hari, tapi aku tak punya pilihan selain bangun lebih awal karena jarak rumahku begitu jauh dari sekolah atau hotel tempatku menjalani kelas industri.

Kuakui kepalaku sedikit pusing dan berat karena semalam dipaksa mati-matian menggarap naskah novelku yang tak kunjung rampung. Aku tak ingat pasti, mungkin aku hanya tertidur dua-tiga jam sebelum kembali menjalani aktivitas sebagai siswi perhotelan. Mengesampingkan segala hobiku, kegemaranku, nyatanya aku memang selalu dituntut serba tahu.

Alarm kumatikan, butuh jeda dua menit untukku memproses dunia sebelum beranjak membasuh tubuh.

Terkadang aku merasa aneh. Dari awal memang ini yang aku inginkan, aku berandai bekerja dalam hotel dan hidup sebagai hotelier, tapi mengapa setelah satu-persatu impian itu kucapai, aku merasa biasa saja? Seolah harga yang telah kuperjuangkan mati-matian hingga detik ini tak lantas membuat jiwaku puas dan bangga atas pencapaian diri. Apa memang ini sifat manusia yang selalu menginginkan lebih?

Setelah menyelesaikan makeup ringan di wajah, aku segera bangkit memakai flatshoes dan pergi tanpa mengucapkan salam basa-basi pada penghuni rumah. Jadwal yang tertera untukku hari ini adalah public area (PA). Jam masuknya harus tiba sebelum 06.45 pagi, karena itulah aku terkesan buru-buru guna mengejar kedatangan transportasi umum.

Terus saja begitu sejak aku dinyatakan lolos program masuk kelas industri. Perlahan, siklus kehidupan ini membuatku bosan.

•• ────── ••

Kelas industri dalam istilah sekolah vokasi berarti program kerjasama antara pihak tenaga pengajar dengan perusahaan tertentu yang saling berkomitmen menghasilkan sumber daya manusia bermutu serta kompeten guna menghadapi persaingan dunia kerja. Konsepnya hampir mirip dengan praktik kerja lapangan. Bedanya kelas industri dilaksanakan setahun penuh dengan sistem yang disepakati masing-masing sekolah.

Sekolahku sendiri menerapkan sistem satu minggu di hotel, dan satu minggu di sekolah. Aku, Sekar, dan Lina ialah beberapa kandidat terpilih dalam program The Iland Class. Mutia berada di hotel lain karena tak lolos seleksi. Tentunya kebijakan tiap hotel serta cara memperlakukan karyawan magang berbeda-beda. Aku mewajari bila keluhan-keluhan kami tak punya tempat di telinga mereka, mengingat kami bahkan belum lulus sekolah. Sebatas alasan ‘lolos seleksi’ saja masih kurang..

“Tungguin!” Tanganku memegang lengan Sevian yang hampir menyelesaikan sarapan paginya. Sekarang pukul 06.40, aku hanya punya waktu lima menit untuk mengisi perut sebelum mengikuti briefing dari supervisor yang bertugas.

Menu sarapan pagi ini adalah nasi goreng seafood, ada pula berbagai jenis pastry sebagai hidangan penutup. Minumnya air putih dingin, atau susu full cream, menyesuaikan selera. Aku mengambil piring dan menyendokkan sedikit nasi goreng ke dalamnya, juga gelas berisi air hangat. Aku duduk di seberang Sevian dan lantas menghabiskannya secepat mungkin.

“Lain kali coba dateng lebih pagi.” Sevian menasihatiku. Aku menatap wajahnya tak suka. Sedikit marah karena dia mengaturku padahal aku telah melakukan yang terbaik.

•• ────── ••

Selepas bertugas menjaga kebersihan di area lobby hotel, siangnya aku dikirim membantu senior room attendant menyelesaikan jumlah kamar dalam worksheet. Bang Dika selaku senior housekeeping terus membimbingku perihal urutan pengerjaan dan tata cara membersihkan kamar tamu. Aku yang tadinya serba diam karena bingung perlahan mulai mengerti. Ia begitu sabar dan baik. Saat mendapatkan tip yang diselipkan tamu pun ia langsung memberikan seluruhnya kepadaku.

“Kan training di sini enggak dibayar, jadi harusnya kalo ada tip ya buat kalian,” ujarnya sambil berlalu menenteng caddy berisi chemical.

Tujuan kami berdua adalah pantry Rahwana. Sekedar duduk santai menikmati sisa waktu kerja sebelum turun ke lantai dasar. Sekarang pukul tiga sore, dan jam pulang untukku adalah pukul empat. Jeda satu jam yang terasa amat panjang sebab aku ditinggal sendirian bersama dua troli besar. Di pojokan ruang sana telah tersembunyi dengan apik sebuah botol hijau yang ditutupi linen, aku mengambilnya hati-hati dan membawanya ke pangkuan.

Bang Dika datang lagi, kali ini ia memberikan gelas plastik padaku sementara langkahnya diarahkan duduk berhadapan dengaku. Ia menuangkan cairan dalam botol hijau tadi pada gelas miliknya sementara aku diam memandangi gelas kosong.

“Wih, gila. Minuman mahal ini. Kalo beli di bar bawah bisa sejuta lebih.”

Aku mendongak, tersenyum tipis dan memutuskan bertanya. “Rasanya enak, Bang?”

“Pake ditanya. Kalo beli sendiri mah sayang duit. Ini kan dikasih tamu, abisin aja selagi ada,” jawabnya, “tapi leher lo panas abis minum. Cobain aja dari pada penasaran.”

“Sekalian kabarin temen lo yang lain kalo mau minum ke sini aja, tapi gantian jangan grebekan. Bawa tumbler sendiri nanti lo tuangin.”

“Tapi ntar kalo ada yang cepu–”

“Orang hotel enggak ada yang usil, Hel. Tenang aja sama kita-kita. Selagi kerja lo cepet, rapih, mau lo narkoba di sini juga atasan enggak peduli.”

•• ────── ••

a/n:

TIGA HARI LAGIIII. AYO DOAIN AKU BISA BERTAHANNNNN 😭😭

Maître D'Hôtel ; JangkkuWhere stories live. Discover now