16. Generasi Rusak

115 22 1
                                    

Vote dan komen jangan lupa 💚

•• ────── ••

Sejak masih menginjak kelas satu Sekolah Menengah Pertama, aku memang sudah tertarik mengikuti berita dan cerita kriminal di koran dan majalah. Kebetulan, aku juga berasal dari keluarga yang tinggal di lingkungan berdampak kriminal tinggi. Aku juga sering membaca novel Sherlock Holmes dan komik Tintin kala senggang.

Aku juga gemar sekali menimbun koran-koran lama yang pernah kubaca waktu kecil. Satu koran usang di kamarku menampilkan bagian kelam di pojok halaman dalam. Judul beritanya membuat hatiku miris: “Puluhan Remaja Tewas Karena Miras Racikan!

Di harian yang satu lagi beritanya menjadi headline dengan judul lebih spektakuler: “Pelajar SMA Ditemukan Kumpul Kebo. Oplos Miras, Vandalisme, Ada Ganja dan Sabu?

Dipaparkan dalam berita tersebut, bahwa generasi muda di Ibukota sering lebih mementingkan kancah pertemanan sekalipun itu membawa dampak buruk dan merusak masa depan. Hal itu biasanya berlandaskan kurangnya perhatian dan ketegasan orang tua dalam hal membatasi pergaulan anaknya, atau memang skema pertemanan yang mereka pilih telah menjadi faktor buruk utama.

Lagi-lagi, yang menonjol dalam berita itu adalah opini si wartawan. Padahal jika pun diteliti lebih apik dalam segi kemasyarakatan dan realisme, hal-hal tersebut tak membutuhkan banyak imajinasi dasar. Kejadian yang dipaparkan sebenarnya sudah cukup sebagai sarana perbandingan akan kemirisan kualitas sumber daya manusia di negeri ini.

Bayangkan saja, dalam tulisan yang sampai memenuhi satu halaman koran. Kata “generasi rusak” sudah muncul lebih dari lima kali. Nama para pelajar pun tak tertulis secara lengkap sesuai dengan jumlah yang mereka tekankan di awal alinea. Tak ada penjelasan soal latar belakang para anak-anak itu, padahal itu akan menjadi rumor baru soal opini-opini pencetus alasan salahnya pergaulan pelajar. Misal, faktor lingkungan, pertemanan, atau rusaknya keluarga. Ya, keluarga adalah faktor internal terpenting.

Bermula dari sekedar ikut-ikutan teman online, aku mencoba belajar menulis. Awalnya aku menulis apa saja, mulai dari puisi, cerpen, hingga artikel tentang kriminalitas dan masalah hukum. Karya yang kuanggap cukup baik aku kirim ke berbagai media cetak, baik koran, tabloid, maupun mingguan. Setelah berkali-kali gagal, akhirnya tulisanku dimuat dan mendapat honor yang lumayan. Aku tambah bersemangat dan makin rajin mengirimkan karya.

Karena tulisanku mulai rutin dimuat, beberapa media kemudian memintaku menjadi kontributor lepas. Aku juga banyak dimintai redaksi untuk menulis perihal kehidupan perempuan di tengah maraknya aksi prostitusi. Inilah awal-awal aku menelusuri dunia gelap pelacuran, juga patriarki, yang akhirnya membawaku bergaul dengan Karin dan kawan-kawannya.

Jauh sebelum hari ini, aku sudah berencana mengangkat fenomena pelacuran sebagai topik naskah novelku. Penerbitku juga tak keberatan dan malah mempersilahkan imajinasi liarku tertuang dalam lembaran buku.

Silakan. Kamu pasti udah tau resiko apa yang ke depannya kamu hadapi. Intinya, hati-hati. Aku nggak mau kamu celaka karena novel ini.” Pesan editorku juga sebagai lampu hijau.

Selama menyusun riset serta outline di berbagai tempat hiburan malam sekitaran Jakarta bersama Karin, aku menemukan berbagai fenomena pelacuran. Banyak hal mengejutkan untuk anak rumahan yang jarang bersosialisasi seperti aku.

Di awal-awal, aku sempat kaget melihat perempuan duduk berjejer di sebuah ruangan dengan dinding kaca besar, seperti akuarium raksasa. Ada yang duduk manis sambik terus menebar senyum, ada yang asyik menonton TV sambil nyemil. Ada juga yang bermain gawai.

Di bagian dada mereka tertera nomor. Tamu yang datang tinggal menunjuk dan menyebut nomor yang diinginkan, yang dipanggil akan keluar dengan santai menggunakan senyuman pasta gigi.

Karena diwanti-wanti oleh para pembaca agar tidak mengangkat isu sensasi, aku harus menggali cerita dari para perempuan pekerja seks di berbagai tempat Karin mendapatkan job. Di balik gaya mereka yang genit dan menggoda, ternyata aku menemukan kisah yang berbeda. Rata-rata dari mereka mengaku menjual tubuh karena terjepit kritis ekonomi.

Aku sendiri tak pernah membayangkan akan masuk begitu jauh dalam kehidupan Karina. Sikap Karin yang terbuka juga membuatku tidak sungkan untuk berterus terang bahwa sebagian kisah hidupnya akan menjadi bahan novelku. Setelah perpisahan dengan Noura beberapa bulan lalu, aku memutuskan untuk fokus mengejar target menulis seluruh kerangka cerita perihal kehidupan perempuan yang telah disepakati kami sebelumnya. Aku sudah mendapat ijin.

Di tengah kesibukan mengejar ketertinggalan menyetor naskah, aku malah dinyatakan lolos interview untuk praktek industri di salah satu hotel ternama di Jakarta. Sistem kerjanya adalah seminggu di sekolah, dan seminggu di hotel. Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya. Hotel itu merupakan hotel bintang lima di kawasan elit, dan memiliki catatan sejarah yang begitu panjang.

Dari berbagai temuan lapangan, aku menyimpulkan sejumlah klasifikasi kepelacuran. Pertama adalah klasifikasi menurut jenis kelamin. Di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya yang berkembang bukan hanya pelacuran perempuan, tapi juga laki-laki bahkan banci.

Iya, laki-laki. Kaum pemegang tali patriarki juga memiliki sumbangsih terhadap pelanggaran norma susila.

Saat menulis itu netra mataku terkunci pada sesosok pria yang kini terdiam begitu menyadari eksistensiku di pojok ruang. Gelas berisi cairan pekat di tangannya ia buang ke pot tanaman sebelum berjalan tergesa menghampiriku. Begitu kami berhadapan, kusadari ada bekas noda lipstik perempuan di sekitaran bibir dan lehernya.

“Gue ke sini buat riset alur.” Layar gawai di tanganku lantas kubalik menghadap wajahnya sebelum sempat ia melayangkan pertanyaan basa-basi.

Aku meraih selebaran tisu di atas meja, meniadakan jarak di antara kami dan mulai mengelap area leher serta dagunya dengan kasar.

“Wihel, gue–“

“Sev, diem. Mulut lo bau alkohol.”

•• ────── ••

a/n:

Ralat, deh. POV Sevian besok aja. Sevian enggak sepolos yang kalian pikir loh.. dia tau banyak dunia malam 😭

Maître D'Hôtel ; JangkkuOnde as histórias ganham vida. Descobre agora