14. Keperkasaan Manusia Perempuan

149 21 0
                                    

Besok aku libur dulu 💚

•• ────── ••

[Jerien Pradipta POV]

Sesungguhnya telah dibisikkan di setiap telinga yang terjaga. Dikala terlinga tengah terlelap, tentang keperkasaan manusia perempuan. Tertulis dalam kitab yang terbuang, manusia perempuan itu diberi kekayaan ilmiah pada struktur pembentuk dirinya. Sehingga perempuan mampu memikirkan banyak hal dan berbicara banyak serta mengerjakan banyak hal dalam waktu sempit yang bersamaan.

Lalu bisikan itu berlanjut, menceritakan pada setiap telinga yang tetap terjaga. Di kala ego masih terlelap. Tentang kelembutan manusia laki-laki. Tertulis (juga dalam kitab yang terbuang), manusia laki-laki itu mampu mengalihkan setiap ketidakberdayaan menjadi banyak hobi pelipur lara. Namun, struktur pembentuk dirinya lebih terbatas dari manusia perempuan. Sehingga menuntut konsentrasi hanya mampu berfungsi pada satu hal saja.

Sehingga sebetulnya menjadi maklum. Bila kemudian di setiap waktunya, perempuan menjadi lebih peka daripada laki-laki.

Pada suatu kala ada keadaan tak berjenis yang memanfaatkan jenis kelamin untuk mengeraskan kuasa daging. Memakai tiap sudut kekuatan dari alat yang memanfaatkan nama Tuhan. Lalu terciptalah mesin pemulus kekuasaan bernama patriarki.

Patriarki mengeluarkan uap berbau fasis-fasis stigma. Melabeli setiap produk yang menurutnya gagal dibentuk patuh, dengan stiker tabu dan tak layak pakai. Lalu mengancam meleburkan setiap mereka yang gagal patuh pada ilusi cerdik tentang mesin panas pelebur bernama siksa api neraka.

Mesin patriarki segera sukses mencampuri kedaulatan diri para manusia perempuan dan para manusia laki-laki.

Kini sebagian dari mereka telah kehilangan jati diri. Terperangkap jauh dalam ilusi ruang getir namun seolah nyaman bahagia. Setelah setiap lapis lembar otak mengkilat tertata rapi sehabis dicuci.

Terkadang dalam lelah selalu ada ruang rindu. Tempat di mana perempuan nampak sangat cantik mengagumkan dengan segala keperkasaannya.

Manusia sendiri telah terlepas dari kata penunjuk jenis di belakangnya. Kini manusia berdiri sendiri sebagai perpaduan rumit antara luka dan cinta yang bergulung dalam cawan keabadian.

Saat orang-orang di sekitarku tumbuh, aku sadar bahwa dalam pergaulanku itu telah tercipta sekat-sekat, dan itu membuatku kehilangan tempat. Aku merasa terbuang dan beranjak menjadi remaja yang bermasalah. Jauh bersembunyi ke dalam kepala sendiri, aku mengakrabi dunia konsep dan abstrak kehidupan, menempatkannya sebagai seseorang tertindas, terlupakan.

Orang-orang mungkin selalu dihadapkan pilihan bahwa aku adalah tempat berteduh, atau setidaknya singgah sejenak sebelum melanjutkan langkah. Sedangkan atapku saja runtuh. Puing-puing yang urung tuk disatukan kembali itu kini malah menjelma sebagai sumber rasa sakit bagi mereka yang menjadikanku sandaran.

Aku mencoba untuk terus menyusuri jalan mencari sisi terbaik dari penalaran ragaku. Lagi, dan lagi. Tanpa kenal lelah. Mengabaikan lontaran kebencian dan kalimat-kalimat naif dari sisi manusia yang begitu busuk melebihi iblis.

Jika orang tua Sevian lebih mementingkan pekerjaan dibanding bahtera rumah tangga, maka, aku adalah versinya yang lain. Aku korban keegoisan mereka yang mencap diri sebagai "Ayah dan Ibu" padahal tak pernah hadir dalam setiap jengkal tumbuh kembang anaknya. Tiada hari tanpa peraduan argumen. Entah itu dari Ibu yang menuntut ayah terlalu sibuk dengan perusahaan, atau Ayah yang malah menghardik Ibu perempuan tidak berguna.

Hingga perceraian itu ada. Ibu memilih pergi menyusuri karirnya yang sempat mati karena kelahiranku. Ia terbang ke negeri jauh di sana, meninggalkan aku dan Ayah di gelapnya malam Ibukota.

Maître D'Hôtel ; JangkkuWhere stories live. Discover now