12. Otoritas Moral Patrialis

142 24 0
                                    

Vote dan komen jangan lupa~

•• ────── ••

[Jovan Hestama POV]

Patriarki dinilai sebagai sebuah sistem sosial yang menempatkan pria sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.

Patriarki disebut sebagai budaya sebab diwariskan dari generasi ke generasi tanpa disadari. Mulai dari lingkup keluarga, misalnya, seorang ayah sebagai kepala keluarga yang memutuskan segala pilihan untuk seluruh anggota keluarganya.

"Pada masyarakat patriarki, perempuan adalah manusia kedua dan mesin reproduksi. Mereka juga harus menyandang berbagai atribut lagi, seperti etnik, ras, warna kulit, status sosial, ekonomi, agama, dan sebagainya. Atribut-atribut tersebut membuat perempuan semakin mengalami diskriminasi."

"Mengabaikan perempuan, berarti mengabaikan potensi dan kekuatan yang sudah diciptakan Tuhan."

Itulah tulisan yang tertera pada satu poster yang dipasang didepan perpustakaan nasional di jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Monolog tersebut adalah cuplikan karya M. Ghufran yang berjudul "Perempuan di tengah Masyarakat dan Budaya Patriarki".

Dalam guyuran gerimis yang kian deras, kotak berisikan bekal makan siang itu dibiarkan bercecer abstrak pada beton jalan. Perlahan namun pasti hancur lebur terlindas oleh pengendara yang melintas. Ia menatap mataku dan anak-anak tongkrongan lain dengan angkuh.

"Nyokap lo udah susah-susah bikin, Hen."

"Dikira gue perduli kali, ya? Enggak sama sekali bangsat."

Heivel Mahendra, justru terlihat mengenaskan di mataku yang kurang sopan santun. Dia bicara seolah tak membutuhkan siapa pun selain batangan rokok di selipan jarinya yang baru dinyalakan. Mungkin di antara kami, hanya dia yang begitu berani melanggar kesepakatan. Mahen satu-satunya di sini seorang pecandu nikotin.

Jerien, aku, dan Sevian lebih suka menikmati aneka ragam kacang-kacangan sebagai camilan bermain game dibanding rokok atau vape.

Mahen adalah seorang fotografer pemula bersama dengan Jeri. Kesenangan mereka terhadap lensa kamera menuntunnya menapaki jejak tersendiri di bidang seni rupa. Akademisnya sangat tinggi, jauh lebih baik dibanding aku atau Sevian.

Aku sendiri tertarik pada jurnalistik, seni tulis-menulis, buku, dan masakan. Itulah sebabnya mengapa namaku terdaftar sebagai siswa jurusan kuliner. Kurasa itu memang bakat dan takdir Tuhan yang bersinggungan.

Artikel pertama buatanku sudah masuk tahap seleksi di redaksi A. Tinggal menunggu sekitar satu minggu untuk mengetahui apakah artikel itu layak terbit atau tidak. Aku menulis pentingnya penanaman pemahaman non-patriarki pada anak sejak usia dini. Adalah fakta bahwa akar dari segala kebudayaan kesenjangan gender tersebut disebabkan oleh diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu, aku juga mencantumkan foto jepretan Jerien.

"Soal cewek itu ...."

Aku menatap Sevian. Dia yang paham pun langsung berpura-pura tidak mengatakan apapun. Mahen menoleh ke arah kami, sedang Jerien sibuk dengan dunianya.

"Gimana sama keputusan lo?"

Aku melongo tak mengerti.

"Udah ngomong sama bokap belum tentang rencana jadi jurnalis setelah lulus? Meskipun sayang, sih, kan lo jago masak. Mending jadi chef aja, duitnya banyak."

Aku tersenyum tipis dibuatnya. "Kalau semua orang nerapin pemikiran kayak yang lo sebutin barusan, dimana uang sebagai tolak ukur impian ... enggak bakal ada pekerja sosial di panti asuhan, panti jompo, ataupun sukarelawan yang pergi dari satu kota ke kota lain demi bahagiain anak-anak kurang beruntung, bro."

Mahen tertawa meremehkan. "Jangan naif. Semua orang butuh duit. Lo berpikir seolah-olah cuma lo yang punya impian mulia. Orang lain juga banyak kali yang pengen jadi sukarelawan."

Aku sebenarnya malas menanggapi, tapi entah mengapa tetap menjawab. "Gue cuma pengen jadi salah satunya, bukan satu-satunya."

Sevian memisahkan argumentasi kami dengan mengajak Mahen mabar. Jerien mengelap-elap lensa kameranya dan mengambil objek meja berantakan di hadapan kami. Detik berikutnya ia menghela nafas panjang dan meletakkan kamera itu dengan enggan.

"Kenapa?"

"Lensanya kendor, kena LCD juga."

"Bokap lagi?"

"Iya, dibanting dari lantai dua. Katanya, gue enggak boleh jadi fotografer, ahaha."

"Butuh berapa?"

"Mau gue jual aja kayanya ini kamera."

"Jangan. Lo butuh berapa buat betulin? Jiwa lo ada di kamera itu, Jer."

Jerien menghela nafas gusar. Raut wajahnya terluhat frustasi. "Enggak perlu lah. Gue berhenti aja jadi fotografer. Capek juga setiap hari denger ocehan bokap. Panas kuping gue."

"Banyak drama hidup lo." Mahen menyindir Jeri. "Kalo mau berhenti, ya, tinggal udahan aja. Tapi, kalo emang lo ngerasa pengen perjuangin hak lo meraih mimpi, usahain dong! Cowok bukan, sih? Alay bener ambil keputusan doang," sambarnya lagi.

Aku spontan terkekeh karena tak ingin kelepasan suara tawa. Untuk kali ini aku sependapat dengan Mahendra. Meski diucapkan dengan nada kurang ajar seperti bokem (bocil kematian) namun, opininya itu seharusnya mampu menggiring kepercayaan diri Jerien yang lebur karena kurang dukungan keluarga.

Kami semua hampir bernasib serupa. Permasalahan keluarga adalah inti dan cikal-bakal segala permasalahan lain di dunia ini. Miris. Padahal seharusnya keluarga adalah tempat teduh untuk bersandar. Kenyataannya, kata keluarga hanyalah stereotip semu yang hambar.

Setiap manusia dasarnya memiliki galaksi tersendiri, namun terkadang keindahan besar itu memang tak terlihat oleh mata mereka; orang-orang yang haus sanjungan dan pengakuan.

•• ────── ••

a/n:

WOAHHHHH NYARISSSS AJA LUPA UPDATE??!! UNTUNG BELUM JAM 12 MALEM 😭🙏 (kalo telat lagi aku udah alfa tiga di event ini)

WOAHHHHH NYARISSSS AJA LUPA UPDATE??!! UNTUNG BELUM JAM 12 MALEM 😭🙏 (kalo telat lagi aku udah alfa tiga di event ini)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

we call his name:
jovan
jo
tama

Maître D'Hôtel ; JangkkuWhere stories live. Discover now