9. Detak yang Berdusta

141 29 1
                                    

Vote dan komen jangan lupa~

•• ────── ••

Sepiku bagaikan teduh. Berkutat dengan barisan kata tuk disusun sedemikian rupa. Memaksakan diri duduk berlama-lama dalam dinginnya ruang berisi deretan komputer sekolah. Menuntaskan satu tugas blog yang hampir rampung seutuhnya jika saja aku tidak mengulur-ulur waktu. Saat inilah, aku merasa tak puas dengan kinerjaku sendiri.

Dua bulan lalu, saat gencar-gencarnya pengenalan segala ekstrakulikuler yang ada di sekolah, aku hanya tertarik pada satu bidang, yaitu jurnalistik. Bermodalkan kemampuanku dalam merangkai kata-kata pendongeng, aku mendaftar sebagai anggota ekskul jurnalis, yang kini telah diganti namanya menjadi “Media”. Perubahan nama itu berlandaskan rasa percaya bahwa kami akan memulai era baru dalam dunia jurnalistik.

Ekskul ini mulai aktif kembali sejak dua minggu lalu, dan tugas pertama yang Pak Dirga berikan padaku sebagai divisi blog adalah membuat satu artikel soal pengertian media, hal menarik, serta manfaat yang akan diperoleh jika bergabung menjadi anggota media itu sendiri.

Aku pribadi belum pernah membuat artikel berita. Sebelumnya ini, aku hanya menulis hal-hal yang kusukai dan sebatas mencurahkan perasaanku lewat aksara kata. Sekarang tugas ini bagai beban berkelanjutan di atas pundakku karena merupakan pengalaman pertama. Namun, aku masih berusaha menyelesaikannya tepat waktu. Sebetulnya ini mudah, hanya saja aku gemar menunda.

Sebagai polesan terakhir aku membubuhkan nama lengkap serta kelas dan divisi pada akhir artikel. Menegaskan bahwa berita ini ditulis oleh seorang murid kelas satu, dan tidak pantas untuk di-copypaste sembarangan tanpa seizin penulisnya.

Aku lalu membuka tab baru pada komputer untuk membuka website akun menulisku. Mencuri-curi waktu menyicil beberapa bab novelku yang terbengkalai, karena bagiku menulis butuh keadaan yang tidak terjerat banyak distraksi.

Sore hari telah tiba di Jakarta. Jarum jam dinding menunjukkan pukul empat. Gerbang sekolah akan dikunci saat menjelang magrib, itu berarti aku masih punya waktu. Lagi pula, masih ada Mutia dan Sekar di seberang komputerku. Mereka juga anggota ekskul media, bedanya, hanya aku yang tergabung dalam divisi blog. Mereka adalah tim editing. Mereka pasti sedang sibuk mengedit video berdurasi sekian menit untuk diposting ke channel YouTube sekolah.

Bennstv.

“Sial, kamu membuatku pusing memikirkan makna dari sebuah senyuman. Aku sebal melihatmu menggunakan itu. Jangan terlalu banyak mengirim sinyal tak terduga.”

Aku tertawa kecil. Meski pesan itu dikirimkan sejak tiga hari yang lalu, tapi aku baru membacanya sekarang. Terkadang aku lupa jika memiliki dunia dan pengagum rahasia seperti dirinya. Oh, maksudku adalah pengagum rahasia tulisan-tulisanku di dunia maya.

“Haha, tenang saja. Kamu benar-benar harus melihatku tersenyum. Lambang itu hanya membatasi keindahan dan makna saat melihat komentar kamu.”

Apa semua pertemuan dari dunia maya selalu seperti ini? Kenapa pertemuan biasa tidak dapat menciptakan obrolan-obrolan puitis seperti yang aku lakukan dengan lelaki ini?

Kehadirannya bahkan selalu membuatku sangat lancar untuk menulis, entah sihir apa yang ada dalam dirinya. Aku bersyukur karena responnya membuatku semakin bersemangat. Dia membawa gelombang yang sangat positif dalam hidupku.

Ingatanku melayang pada hari-hariku sebelum terang datang. Seolah memasuki portal untuk kembali pada saat itu, untuk merasakan kembali apa yang tengah aku perjuangkan kala itu. Ada begitu banyak cobaan yang meluluh lantakkan api semangat dalam mataku. Hingga saat perlahan satu-persatu keadilan tiba, aku kemudian tersadar ada banyak hal yang patut kusyukuri dalam kehidupan ini.

Aku meramunya dalam bentuk cerita. Menari dengan diksi dan menggabungkannya dalam untaian senandika yang candu. Jari ini tak ingin berhenti bergerak ke sana kemari. Hentakan jariku melenggang dengan yakin dan pasti. Namun, aku membuat batas.

Pada pertemuan yang saling mengisi
Juga tangisan malam tak berarti
Waktu yang habis untuk mengutuk diri sendiri
Kini, aku bebas menata mimpi-mimpi
Melihat masa depan
Merajut harapan
Tanpa menoleh ke belakang lagi

Senyumku menunggu giliran untuk dilihat olehmu
Apa itu senyum pertama?
Aku, dan engkau
Dalam deret pesan yang memohon untuk sampai
Lewat puisi yang saling mengisi
Menjadi utuh
Tentang kita berdua

Aku tak bisa menyangkal bahwa aku adalah sebuah sketsa polos yang kemudian diberi aneka ragam warna. Karena setelah aku renungkan, tujuanku masuk perhotelan bukanlah ingin mengubah takdir Karin, melainkan egois pada kesuksesanku sendiri. Karin yang membuatku membangun mimpi itu. Hatiku mengatakan tak ada yang perlu dibungkam, seolah nalar memohon kepada nurani, agar semua rasa tersampaikan dan hinggap di mataku. Perasaan yang begitu mendamaikan. Sangat lembut dan tenang.

Detak yang berbohong
Atau detik yang berdusta?
Kita merasa utuh jika berdua
Hingga saling meniadakan
Ini seperti perjudian waktu

Puitis ini memang terlalu menaruh harap
Padamu, si penyair syahdu
Apa yang kamu tunggu?
Sebatas nama saja aku tidak tahu
Siapa kamu?
Siapa aku?

Apa yang dimakannya? Kamus Indonesia? Buku-buku puisi? Cepat sekali dirinya membalas tulisanku. Seolah bukan soalan rumit baginya mencetak kalimat-kalimat apik yang kini bersemayam dalam kepalaku.

“Sebuah pertanyaan ‘siapa namamu’ yang sangat panjang. Kamu sungguh ingin tahu?”

Aku berselancar dalam tulisan kamu setahun penuh, tentu aku ingin tahu.”

Sudah kubilang, dia perayu ulung. Satu bajingan yang bersembunyi dibalik getaran puisi. Entah sudah berapa banyak wanita yang jatuh pada tipu muslihat sajak-sajaknya. Aku takkan mudah terperdaya.

“😝😝”

Aku bilang berhenti menggunakan emoji. Aku bisa mati penasaran karena menebak-nebak arti ledekan kamu.

Aku tidak mau membalasnya lagi. Senang rasanya membuat orang lain kesal karena tingkahku. Aku tergesa mengeluarkan akun menulisku, dan menutup tab-nya. Setelah itu aku mempublikasikan artikel tugasku barusan, serta membagikan link-nya ke grup internal ekstrakurikuler sebelum beranjak menyampirkan totebag putih di pundak.

“Mau balik sekarang?” Sekar bertanya saat menurunkan headphone di telinganya.

“Iya, nih. Takut macet. Gue cabut duluan, ya. Semangat ngeditnya!” Aku mengedipkan mata jahil pada mereka berdua kemudian berlari kecil keluar dari area lab komputer.

“Yeu, anak setan. Bantuin dong!”

•• ────── ••

a/n:

Maaf kemarin enggak update, aku ketiduran (lagi). Heran banget akhir-akhir ini jadi ngantukan 🙂

Maître D'Hôtel ; JangkkuOnde histórias criam vida. Descubra agora