3. Dilan 1990

278 60 23
                                    

Vote dan komen 💌

•• ────── ••

Mau langsung pulang? Beli seblak dulu, yuk!”

Aku reflek mengangguk semangat. “Ah, kamu emang perhatian banget. Tau aja aku mulai lapar karena omongan kita serius dari tadi.”

Karin cuma tersenyum melihat tingkahku. Kami berjalan beriringan menuju sebuah rumah yang menjual aneka ragam seblak. Jaraknya sekitar beberapa belokan dari asrama Karin. Harganya juga murah meriah, kami biasanya menghabiskan dua puluh lima ribu untuk dua porsi seblak komplit. Ini adalah warung langganan Karin. Pemiliknya sudah hafal dengan wajah Karin saat membeli sehingga sering diberikan bonus ceker, ataupun otak-otak di dalam pesanan seblak kami.

Kecantikan Karin memang mampu menarik mata siapa saja. Tak perlu menggunakan make up tebal, atau berlenggak menunjukan belahan dada, sebenarnya paras Karin begitu cantik dan tiada bosan dipandang berulang. Apalagi bagi kaum pria, Karin benar-benar laris diperbincangkan. Sayangnya, Karin malah berjalan di dunia gelap. Dengan kecantikannya, seharusnya Karin bisa menjadi model majalah, brand ambassador, selebritis, atau bahkan debut bermain film-film romansa klasik seperti Dilan 1990.

Bisik-bisik soal pekerjaan haramnya hanya menyebar sesekali. Mereka tahu siapa Karin, tapi urung untuk bertanya apalagi menghina. Sosok yang berkuasa dibalik pekerjaan Karin adalah Mami Sarah, dia adalah wanita separuh baya yang terkenal di daerah itu. Perawakannya masih terbilang cantik dan awet muda.

Dia sering berkamuflase dengan bersedekah pada anak yatim-piatu (aku pernah mendapat bingkisan lebaran darinya) atau fakir miskin. Mami juga rajin mengirimkan donasi saat acara-acara besar di lingkungannya. Contohnya saat peringatan kemerdekaan kemarin, Mami membawakan dua sepeda lipat, dan seperangkat alat sekolah, diluar titipan uang yang dia sisipkan untuk pemenang lomba.

Sesudah membungkus seblak pesanan kami, aku meminta Karin cepat mengantarku pulang. Karin tak banyak bertanya, dia segera menuruti kemauanku. Sama seperti biasanya, Karin akan memberhentikan motornya kira-kira jarak sepuluh meter dari gang kecil di depan rumah, tepat di samping jembatan penyebrangan orang.

“Nih, buat tambahan jajan,” ujarnya menyelipkan uang pecahan seratus ribu juga sebatang coklat bermerek ke dalam kresek seblak di tanganku. “Ini duit buat beli makanan yang enak. Coklatnya jangan dimakan sendirian, nanti lo sakit gigi. Dibagi-bagi aja ke sepupu lo yang masih kecil.”

Aku mengangguk tipis. “Doain aku, ya. Semoga Mbah setuju kalo aku masuk hotel.”

Bukan jawaban yang aku terima, Karin malah tertawa lirih. “Emangnya doa mahluk hina kayak gue masih di dengar Tuhan? Gue enggak pantas minta apa pun, tapi gue yakin lo pasti bisa!” Lagi-lagi dia meyakinkanku.

Tanpa berkata apa-apa, aku memeluknya dari samping sebelum berbalik menjauhinya menuju kediaman rumahku. Kudengar suara mesin motor yang kembali dinyalakan, Karin sudah pergi. Aku menoleh ke tempat tadi, dan tidak ada Karin di sana. Entah mengapa perasaanku terasa mengganjal, aku tidak tahu ini firasat atau bukan. Aku akan selalu berdoa untuk keselamatan Karin.

Tanganku berkeringat dingin sebab terlampau gugup ingin membicarakan jurusan sekolah pada Nenekku—aku memanggilnya Mbah—kira-kira apa responnya saat tahu cucu perempuan pertamanya ini ingin masuk perhotelan? Aku harus memasang gendang telinga dengan apik agar tak melewatkan satu kata ocehannya tentang pekerjaan Ibu dulu.

Masuk perhotelan mau jadi apa? Jual diri kayak Ibu kamu?”

Dugaanku benar adanya. Pasti sulit bagi keluargaku menerima fakta bahwa anak sepertiku ingin mendaftarkan diri dalam sekolah kejuruan, khususnya bidang perhotelan. Itu sama saja menjadikan beban mereka semakin besar dalan membiayai hidupku. Tak perlu repot-repot menerka, karena pada kenyataannya sejak dulu pun aku sudah tahu jawaban apa yang akan kuterima.

“Wihel mau kerja di hotel!”

Aku teguh pada pendirianku, bahkan siap berlaku nekat jika mereka tetap menentang.

“Sekarang lihat Tantemu. Dia lulusan akuntansi bisa kerja di bagian marketer mobil mewah, gajinya dua digit, sering keluar kota dan pulang bawa uang bonus. Hidupnya sejahtera bisa bantu-bantu perekonomian keluarga. Lha, kamu?”

Aku menggigit bibir. “Lihat juga Bang Arka, dia lulusan perkantoran, tapi kerjanya apa? Cuma tukang ojek online!”

“Wihel!” Mbah membentak namaku. “Jaga omongan kamu. Rezeki orang kan beda-beda, sepupumu itu baru lulus, jadi wajar kalau masih kerja nyambi biar enggak nganggur di rumah.”

“Nah, itu maksud Wihel!” Aku balas menggertak. “Mbah enggak bisa maksa Wihel masuk akuntasi cuma karena tolak ukur kesuksesan Tante! Rezeki kita beda, Mbah. Aku yakin bisa sukses pakai caraku sendiri.” Di akhir kalimat, bicaraku malah melunak. Berusaha memberikan pengertian padanya.

“Sukses apanya? Kerja di hotel pasti enggak akan bener. Kamu mau jadi cewek malam? Mau nerusin bakat Ibu kamu?”

“Jangan hina Ibu terus! Ibu udah mati, dia pengen tenang, jangan sebut-sebut Ibu pakai nada ngerendahin begitu!” Aku marah. Ya, kali ini aku betulan emosi dibuatnya.

Mbah terkesiap mendengar suaraku, kemudian menemukan topik lain sebagai bahan perdebatan. “Masuk hotel biayanya mahal. Sekali praktek bisa abis ratusan ribu, ujian bisa jutaan, ambil ijazah dan sertifikat kompetensi beda lagi. Kamu tau kita bukan orang kaya, duit segitu mau dapat dari mana?”

“Wihel pasti bisa masuk sekolah perhotelan negeri. Mbah enggak perlu khawatir, Wihel enggak bakal bikin kalian tambah susah.”

“Pergaulan di sana enggak bener. Kamu yakin? Nanti kamu terjerumus. Tetangga kita ada lulusan perhotelan, sampai sekarang betah kerja di luar negeri enggak pulang-pulang nengokin keluarganya.”

“Ya, emangnya kenapa? Yang penting kiriman uang ngalir terus, kan?”

Mbah mendecak. “Dasar kepala batu. Jadi cewek kok enggak bisa nurut sama keluarga. Terserah kamu, deh. Mbah enggak mau ambil pusing. Intinya kalau masuk swasta, kamu sampai SMP aja, Mbah enggak mampu biayai uang pangkal gedung.”

Bagus!

Aku berhasil meyakinkan nenekku jika aku punya kemampuan untuk masuk ke sekolah perhotelan negeri. Walau terlihat ogah-ogahan, tapi kutahu kalau hatinya melunak saat melihat tekadku yang membara. Aku betul-betul menekankan perkataan saat berkata ingin bekerja di hotel. Tak ada orang yang boleh menghalangi jalanku sekalipun itu keluargaku sendiri, keyakinanku sudah matang.

“Mbah setuju, tapi bukan berarti anggota keluarga yang lain juga sama, loh.”

Aku tahu itu. Secepatnya aku juga akan membuat mereka luluh pada keputusanku. Kemampuan bicaraku memang pantas diacungi jempol saking hebatnya, kurasa aku punya bakat dalam hal memanipulasi pikiran lawan bicara. Jika izin sudah dikantongi, maka aku tinggal mencari-cari sekolah vokasi terbaik di Jakarta.

Karin, aku pasti bisa masuk hotel!

•• ────── ••

a/n:

Fokusnya masih ke peran Wihelmina dulu, yap. Nanti baru ke latar belakang pemeran lain. Aku bakal usut tuntas permasalahan hidup mereka :)

Maître D'Hôtel ; JangkkuWhere stories live. Discover now