10. Rendahnya Sistem Pendidikan

133 29 1
                                    

Vote dan komen jangan lupa!

•• ────── ••

Semarak matahari pagi telah mengantar sepasang kakiku merapatkan diri pada lantai kelas. Seragam batik berwarna gradasi hijau lumut dan hijau stabilo menempatkan semangat paling depan menghadap hari ini.

Mataku menyipit untuk mencoba menghalau sinar mentari pagi yang menyentuh hari. Sebenarnya menyenangkan membiarkan sinar gagah pagi ini begitu leluasa menghangatkan raga, tapi aku lebih tertarik untuk menghalau biasan cahaya tersebut menggunakan ponselku yang dinaikan ke atas sementara tubuhku sedang terbaring letih.

Tanganku bergerak menggulirkan tiap video yang berseliweran di beranda sosial media, mencari-cari konten menarik untuk ditonton kala jam kosong kelas karena guru yang mengajar berhalangan hadir. Saat sedang asyik-asyiknya berselancar dalam kefanaan dunia maya, tiba-tiba aku teringin batuk sekaligus bersin. Rasa aneh menjalar dari tenggorokan menuju lidahku, yang kemudian karena terlampau penasaran akhirnya kucoba muntahkan ke telapak tangan.

Betapa terkejutnya aku saat mendapati aliran darah segar mengaliri jemari, ditambah butiran-butiran darah kental yang menggumpal berwarna merah kehitaman yang tak kalah menarik untuk kuhempas pada kain rok putih yang kukenakan. Karena panik, aku pun berlari menuju toilet untuk memuntahkan seluruh darah yang berkumpul di tenggorokanku. Salah satu temanku menyusul, dia langsung berteriak dan berusaha menopang tubuhku yang lemas.

“Wihel, lu kenapa?! Kuat enggak? Gue panggil anak PMR dulu sebentar, lu bisa tunggu?”

Aku mengangguk mengiyakan dan bersandar pada meja panjang di depan kaca besar. Tak lama, Mutia dan Sekar berlari menghampiri dan langsung membopongku menuju UKS sekolah di lantai dasar. Kami menuruni tangga pelan-pelan, bisa kurasakan pening dan bau amis yang berasal dari warna merah di seluruh inci rok putihku.

Sekar memegang knop pintu dan kesal saat tahu pintunya masih terkunci. Dia menyuruh Mutia mendudukkan tubuhku pada kursi kayu yang ada sementara dia berlarian di lorong-lorong sekolah mencari keberadaan satu guru yang biasa memegang kunci ruangan tersebut. Kepergiannya begitu lama, yang begitu kuketahui saat berhasil siuman adalah karena hampir sebagian besar guru seperti lepas tangan dan menyepelekan murid-murid yang sakit di jam pelajaran.

Tak jarang kami yang sakit diperlakukan dan dicaci dengan perkataan tidak pantas. Aku adalah saksi hidup atas hal ini. Satu guru bahkan sering sekali mencap jidat kami sebagai ‘penyakitan’. Pantaskah seorang tenaga pengajar menghardik perbedaan daya tahan tubuh anak didiknya? Pantaskah mereka yang katanya orang tua kedua malah mencaci anak-anaknya?

Sistem pendidikan Indonesia memang masih minim dan pantas menempati urutan-urutan terendah di dunia.

Ada satu guru yang meski sebatas melintas, tapi cekatan menolong. Dia membuka kunci, membantu membaringkanku di atas kasur dingin. Dia segera menuangkan air hangat pada cangkir dan memberikannya kepadaku disertai minyak kayu putih. Guru itu membalik rok putihku agar aku tak terus memandangi bercak darah yang begitu banyak.

Sekar menguapkan emosinya saat tiba dan melihatku sudah ditangani.

“Sumpah, ya, gue benci banget sama Pak Ilham karena enggak mau kasih kunci UKS! Padahal temen gue hampir mati begini, dia masih aja kolot!” sambat Sekar membantu membalurkan minyak.

Selang satu jam kemudian, sepupuku yang pernah kuceritakan sebagai ojek online datang menjemput. Rupanya guru tadi menanyakan nomor darurat pada Mutia, dan Mutia hanya memiliki nomor sepupu laki-lakiku karena sempat beberapa kali diantar ke sekolah. Sepupuku, Arka, masuk ke UKS dengan raut tidak bersahabat. Mungkin ia merasa aku adalah hama kecil yang mengganggu pekerjaannya. Aku meringis dalam hati saat menatap Sekar serta Mutia bergantian.

Mutia memilih naik ke lantai atas menuju kelas kami. Ia mengambilkan tas dan barang bawaanku, sedangkan Sekar terus menatapku seolah mengerti akan sesuatu. Omong-omong aku memang pernah menceritakan beberapa poin keluargaku pada mereka, jadi tak heran pasti Sekar langsung bisa menyimpulkan raut wajah itu.

Aku diizinkan pulang ke rumah di jam sepuluh siang, hari kamis, saat mengenakan seragam batik. Hari itu takkan pernah kulupakan karena ini adalah pertama kalinya aku muntah darah. Aku memang mengidap THT sejak kelas tiga sekolah dasar, biasanya jika kelelahan atau terlalu sering mengonsumsi makanan instan pasti akan mimisan, mengapa sekarang lain? Aku tak mengerti perubahan gejala seperti ini. Padahal aku sudah berhenti mimisan sejak menginjak kelas dua sekolah menengah pertama.

Aku disarankan guru agar tidak masuk sekolah keesokan harinya sampai kondisiku membaik.

Hari Rabu minggu depan setelah kejadian itu, aku merasa membaik. Aku baru diizinkan memegang ponsel di hari itu setelah enam hari berlalu. Saat berbagai macam pesan dari opsional atau grup memenuhi room chat, perhatianku teralih pada satu grup yang dinamai ‘calon anggota osis’. Aku yang penasaran langsung saja membuka obrolan itu, menggulir pesan sampai ada satu banner yang dikirimkan oleh ketua osis.

Banner berlatar oranye dengan hiasan sederhana dan nama-nama calon anggota osis yang terpilih pun terpampang jelas. Di urutan hampir teratas ada namaku, Wihelmina Gayatri, X Perhotelan 2. Aku terkejut, sangat-sangat terkejut. Seingatku, aku hanya mengisi formulir pendaftaran dan mencantumkan data diriku. Saat ada acara pelantikan ataupun seleksi di hari Jumat-Sabtu kemarin, aku tak ikut. Selain karena sakit, aku juga kurang biaya. Aku sudah tak berharap dipilih sebagai anggota, karena katanya anak yang tidak mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan Osis (LDKO) tidak diperkenankan para guru untuk lolos.

Aku berangkat ke sekolah dengan perasaan linglung sekaligus heran. Bagaimana bisa takdirku sebercanda ini? Banyak anak-anak lain yang mengikuti rangkaian acara dari awal hingga akhir, membawa banyak barang yang diperintahkan, tapi tidak terpilih. Kenapa aku yang tak berjuang apapun malah tertera namanya? Apa itu adil? Apa aku jahat karena merasa senang?

Siapa yang menyangka, bercandaan takdirku kali ini malah mengantar garis hidupku pada kerumitan yang luar biasa, sekaligus pengalaman-pengalaman masa putih-abu yang tak ternilai harganya.

•• ────── ••

a/n:

Akhir-akhir ini Jakarta hujan lebat terus setiap hari. Hawanya dingin, bikin gampang sakit. Aku harap kalian jaga kesehatan, hati-hati saat beraktivitas di luar ruangan~

Maître D'Hôtel ; JangkkuWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu