19. Bising Jakarta Malam Itu

173 26 1
                                    

Vote dan komen jangan lupa 💚

•• ────── ••

Jika suatu hari
Kau menemukan aku
Tergantung di tiang lampu
Terdampar di bawah jembatan
Terapung di hamparan laut
Kau tahu aku sudah berusaha menghindari semua itu
Bertahun-tahun sebelumnya

Sepanjang hari aku telah bicara pada benda benda sialan itu,
Aku ingin lebih jauh berlari dan menikmati udara lebih lama

Begitu sekiranya isi karangan indah milik Boy Candra, cuplikan singkat yang tak pernah bosan menggambarkan keputusasaan hidup.

“Ada beberapa orang yang enggak ngeluh, enggak curhat, sehat jasmani, tapi tiba-tiba bunuh diri..” Kepalaku tertoleh begitu mendengar suara lelaki bergabung duduk bersamaku bersandar pada pilar. Aku memejamkan netra rapat-rapat demi menutupi ketidakmampuan emosiku menghalau bulir air mata.

“Lo enggak punya hobi selain duduk di ujung basemen?” tanyanya lagi. Keheningan masih menyelimuti kami berdua.

Srakk!

Aku menggeret tubuh ini ke samping, berupaya memberi jarak tanpa membalas satupun pertanyaan menghina itu. Tanpa kuduga ia malah mengambil langkah panjang mengapit tubuhku yang bobotnya tak seberapa.

Tangan serta jemari dinginnya menyentuh rahangku lembut sebelum mengalihkan elusan pada pucuk kepala sementara tubuh kami saling menempel secara utuh.

“Gapapa buat rapuh, gapapa buat ngerasa sedih. Lo enggak perlu keliatan kuat setiap saat.”

Sevian mengeratkan pelukannya sambil sesekali membetulkan posisi rambutku yang berantakan. “Mata sembab, mojok nangis, sekarang demam. Sakit banget ya lukanya?”

Setelah yakin keadaan sedikit lebih tenang, aku memutuskan mendongak. “Bekasnya yang masih sakit, bukan lukanya.”

Sevian berdiri di depanku, mengulurkan tangan dan mengode menggunakan kepala. “Katanya mau pergi? Pake tisu aja dilap air matanya, nanti makeupnya luntur kalo cuci muka.”

•• ────── ••

Kami pergi ke mall yang berada satu area dengan hotel tempat kami bekerja. Kebetulan yang indah. Sevian memimpin jalan di depan walau sesekali menghentikan langkah agar aku bisa menyusul. Kami hanya perlu keluar dari staff entrance dan berbelok pada lift. Sekarang pukul tujuh malam, tapi masih banyak orang-orang yang berdesakan. Sevian menarik ujung baju belakangku agar mundur berdiri di sebelahnya.

“Acaranya mulai jam berapa?”

“Harusnya udah mulai.”

Di satu area yang menjadi titik kumpul bagi para peserta telah terlihat beberapa kerumunan kecil. Beruntungnya aku dan Sevian bergegas mencari sofa kosong sebelum orang di belakang kami. Ada banyak tamu undangan yang kehabisan tempat duduk.

“Kalo bosen pulang aja, Sev.” Aku memperingatkan. Acara ini murni keinginanku sendiri, sebelum Sevian mengacau ingin ikut.

“Seru kok, gue dapet banyak tester makan sama minum gratis,” ujarnya tersenyum tipis. Aku tahu dari sorot matanya jika dia hanya berusaha menghindar pulang ke rumah.

“Ada masalah apalagi?” tanyaku tanpa basa-basi, jarak wajah kami berdekatan karena bisingnya suara musik.

Sevian memalingkan wajah dan malah mengambil segelas cairan yang dibawa oleh satu pegawai (?) aku tidak tahu harus memanggil mereka yang menjajakan makanan dengan sebutan apa, yang jelas, itu bukanlah soda yang sejak tadi kami minum. Warnanya putih agak kekuningan, gelasnya juga berbeda.

Aku tak bodoh. Aku beberapa kali mendapat tugas membersihkan area outlet hotel yang bergerak dalam bidang bir dan alkohol, diperuntukkan bagi tamu-tamu mancanegara yang terbiasa hidup dalam kebebasan. Aku tahu jika gelas yang dipegang Sevian sekarang ialah gelas yang biasa dipakai untuk menikmati cairan whiskey.

“Mau liat gue one shot?”

“Hah?”

“Jawab iya.”

“Iya, emang kenapa?”

Sevian menenggak gelas kedua dari minuman yang baru saja ia ambil. Tak perlu waktu lama isinya telah kandas dalam sekali tegukan. Ah ... maksud dari one shot pertanyaan tadi ternyata aksi minum sekali habis. Aku tak menunjukkan ekspresi tertentu begitu matanya terbuka lagi setelah terpejam menikmati alkohol yang mengalir di kerongkongan.

“Enak?” tanyaku penasaran.

“Mau coba?” balas lelaki itu dengan raut menjengkelkan.

Aku mengambil segelas. “After taste-nya juga enggak enak, pahit. Berasa makan tape satu kilo.” Kata-kataku meluncur bebas sebelum meminumnya dalam sekali teguk seperti Sevian. Bisa kulihat ia terkejut. “Bukannya enggak mau, Sev. Gue cuma mikir ... kalo gue jadi peminum, berarti gue enggak ada bedanya sama bokap.”

Matanya merah, entah efek alkohol atau karena menahan sakit. Keadaannya sungguh kacau. “Mau sampe kapan jadiin alkohol pelarian? Kalo mau mati mending ngomong, biar kita mati bareng.”

•• ────── ••

a/n:

Mereka berdua sebenernya sama-sama rapuh karena kehilangan figur orang tua..

‼️(Mungkin chapter ini adalah chapter terakhir yang dipublikasi selama proses penilaian naskah event pensi) ‼️

Maitre D’Hotel akan dilanjutkan kembali saat penilaian juri selesai. Kalau pun ternyata tereliminasi, kemungkinan aku bakal tetap update dengan jadwal satu-dua kali dalam seminggu. See ya!!

Terima kasih sudah jadi bagian dari cerita ini 💚💚💚💚💚

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Maître D'Hôtel ; JangkkuWhere stories live. Discover now