8. Padamu, Si Penyair Syahdu

161 33 3
                                    

Update lebih awal karena kuotaku sekarat, takut malah absen 🤡

•• ────── ••

Segala hal yang dimulai pasti akan berakhir. Itu adalah hal yang wajar. Memang sudah selayaknya apa yang dimulai menemui akhirnya. Hanya saja, memang tidak semua orang bisa menerima kenyataan seperti itu. Sebab, banyak yang siap memulai, tetapi tak pernah mempersiapkan diri untuk mengakhiri. Apalagi yang dimulai dengan perjuangan sepenuh hati. Ya, tentu akan sangat memedihkan. Tidak ada yang benar-benar siap mengakhiri sesuatu yang disenangi.

Berkali-kali aku dicerca dan dihakimi oleh mereka yang tak pernah andil apa pun dalam hidupku. Bersikap seolah mereka yang paling tahu seluk beluk napasku dan ingin merenggutnya sesuka hati tanpa seizinku. Mereka, si pemegang tali-tali takdir orang lain.

Menulis adalah hobi sekaligus ajang untukku mencurahkan isi kepala yang berantakan. Aku tak memikirkan untuk berhenti juga tak berani mengungkap mimpi sebagai penulis asli, karena menurutku, menulis adalah hidup. Jika berhenti mungkin aku bisa mati.

Keluargaku menentang kuat jika aku melanjutkan hobi ini, tapi siapa peduli? Ponselku adalah hadiah ulang tahun dari Karin setahun lalu. Aku tak pernah meminta uang untuk membeli pulsa atau kuota, sehingga aku hidup dalam duniaku sendiri tanpa melibatkan mereka.

Di dunia ini, dengan segala keburukan yang terlanjur melekat dalam langkah kaki
Ada begitu banyak pelajaran
Hal-hal ajaib yang tak terduga asalnya
Alasan terlalu baik untuk memilih pergi

Oh, roman picisan hati
Ditinggal dalam bait aksa yang amerta
Menikmati fase semburat yang bersekat

Sisi baik dilukai
Bagiku si penuntut dekapan hangat
Ruang mana lagi yang harus kujelajahi?
Dalam matamu?
Dalam senyummu?
Candu
Kamu mengharu-biru dalam diriku

Gelap hinggap dalam rasaku
Gema datang tak bertamu
Gerah rasanya menunggu
Mencari-cari kamu
Si puitis perayu

Lagi-lagi aku hanyut dalam imajinasi semu. Aku merasa ada yang berbeda. Bukan sekedar prosa kekecewaan semata, kali ini bab ceritaku seolah mempunyai perasaan manis dan roh tersendiri diluar kendali nalarku.

Tak lama, pesan balasan muncul. Aku tentunya heran karena ada orang yang membaca tulisanku secepat ini. Seharusnya aku tak perlu memikirkannya, tapi entah mengapa ada gelombang yang menarik-narik jiwaku agar membacanya. Ah, ternyata username bennstv. Apa dia memang seharian berselancar untuk membaca sajak-sajak?

Aku percaya
Garis takdir ini memang bersinggungan
Kata-kata pembuat simpul rasa
Melodi yang sungguh puitis
Kamu mendengarnya?
Iya, perasaanku yang melalang buana

Menyenangkan
Prosa yang kuduga sebagai curhatan jiwa
Malah mengantarkan pada gerbang hati
Diksimu menari-nari
Senyumku tiada bosan merekah
Aku menerka-nerka
Siapa gerangan si puitis perayu?
Padamu, si penyair syahdu

Aku tersenyum-senyum dibuatnya. Baru kali ini aku merasa begitu senang dan menantikan setiap balasan komentar atau pesan dari seseorang. Pemilik akun bennstv memang selalu mengejutkanku dengan kemampuannya merangkai kata-kata. Dia selalu bisa membuatku takjub.

Indah.”

Aku membalasnya begitu. Hanya berupa satu kata yang menurutku sudah cukup menggambarkan tulisannya. Kira-kira kejutan apalagi yang akan dia berikan?

Lamunanku terbuyarkan oleh sodoran kertas seukuran A4 yang diberikan guru tepat di hadapanku. Aku reflek menelungkupkan ponsel dan menerimanya, lalu sesegera mungkin membaca apa isinya. Rupanya sebuah formulir untuk pendaftaran industry class di— aku melongo sebentar.

Hotel The Iland?

Menyadari keterkejutanku, akhirnya wali kelasku menjelaskan secara rinci perihal kelas industri. Seperti yang sama-sama telah diketahui, Hotel The Iland adalah salah satu bangunan yang memiliki nilai sejarah karena dibangun dan diresmikan oleh presiden Indonesia. Beberapa ornamen dan artistik bangunan juga digunakan atas selera orang nomor satu di Indonesia kala itu.

Hotel ini begitu sering kudengar beritanya di televisi karena selalu dikunjungi orang-orang pemerintahan, pejabat, bahkan pengusaha-pengusaha sukses mancanegara. Hotel ikonik yang menjadi ciri khas Ibukota selain Monumen Nasional tentunya.

Kelas industri sendiri merupakan suatu kelas yang mempersiapkan mental kami dan memberikan pengalaman kerja secara nyata. Kami akan bergelut dalam tata kelola hotel, dan menjadi orang-orang yang berada dibalik layar. Meski ditempeli cap ‘kelas industri’ kami akan diperlakukan secara sama. Tidak ada perbedaan antara karyawan magang, karyawan tetap, ataupun part time. Dimulai dari seragam, jatah makan, sampai uang tip sekali pun, semuanya sama rata.

Saat kelas industri, kami memang tidak dibayar seperti karyawan pada umumnya. Tapi, pengalaman bekerja di dalamnya yang menurutku begitu mahal, karena tidak semua murid mempunyai kesempatan untuk merasakan hal serupa. Nantinya akan ada beberapa bagian di kelas industri. Mulai dari housekeeping, front office, public area, hingga laundry sekalipun akan kami cicipi.

Untuk durasi kerja sendiri tidak dibedakan jauh dari karyawan tetap. Tergantung pada bagian apa kami sedang bertugas. Anggap saja jam masuknya pukul tujuh pagi, dan saat pulang rata-rata sekitaran pukul empat sore. Lumayan juga. Sembilan jam dihabiskan untuk bekerja. Sistem kelas industri adalah satu minggu di hotel, dan satu minggu kembali ke sekolah. Selang-seling. Kedengarannya memang menguras tenaga.

Wali kelasku menambahkan jika kelas industri baru dimulai saat kami naik kelas dua, sekarang hanya pendaftarannya saja. Proses seleksi akan berlangsung saat pendaftaran ditutup. Tentu aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Aku akan memaksa Mbah menandatangani kolom persetujuan wali murid agar bisa mengikuti seleksi masuk kelas industri.

Aku harus optimis dan percaya diri. Aku pasti bisa. Ini baru tahap awal dari jalur karirku, aku tidak boleh takut apalagi menghindar.

Wihel: [img.]
Karin, aku mau daftar kelas industri di hotel The Iland loh. Menurut kamu, apa aku udah cocok pakai seragam hotel?

Selepas mengirimkan foto formulir barusan pada Karin, akhirnya aku beralih untuk membaca pesan balasan dari Ben.

Kamu juga. Segalanya tentang kamu terlalu indah, bahkan sulit diinterpretasikan dalam rayuan kata.”

Tak pernah kutemui gombalan mematikan semacam ini pada lidah pria mana pun. Kurasa, dia berbeda. Mungkin Ben bisa mematahkan opiniku soal semua laki-laki yang sama saja. Nyatanya, dia berhasil membuatku jatuh. Tanpa mengenal nama, tanpa tahu wajahnya. Aku berharap, kelak semoga kami bisa menari bersama dalam deret-deret aksara. Menyelami lautan diksi dan terperangkap dalam bisingnya hujan berdua.

Aku mengirimkan “:)” sebagai jawaban. Mungkin dia bertanya-tanya apa maksud dari sebuah senyuman yang kukirim. Apa aku sedang tersenyum untuknya sampai kehilangan kata-kata, atau justru aku merasa risih hingga tak mau lagi membalas dengan untaian kalimat? Biarlah, aku memang suka membuat hatinya terjebak dilema.

•• ────── ••

a/n:

Drama percintaan khas penulis..

Maître D'Hôtel ; JangkkuWhere stories live. Discover now