13. Mencoba Mati Seribu Kali

121 21 0
                                    

Vote dan komen jangan lupa!

•• ────── ••

[Heivel Mahendra POV]

Kadang aku merasa marah. Sangat marah. Saat aku marah lagi, hati kecilku berbisik, “apa gunanya marah terus?”

Kemudian bilik lain dari pintu hati yang sama menegurku, “lo mau terus-menerus dianggap enggak mampu? Dikasihanin? Dianggap enggak bisa apa-apa dan cuma nunggu uluran tangan dari mereka?”

Setelah itu aku berhasil menangis. Bukan karena sedih, tapi karena aku sudah berhasil menasihati diri sendiri. Karena aku mampu jujur pada diri sendiri bahwa aku tidak mau dilemahkan keadaan.

Sedikit terang menyinari sudut hatiku yang tergelap, di sana telah kusandera dengan apiknya segala iri dengki dan kecemburuan atas apa yang mata dan pikiranku rekam dari keberuntungan orang lain, dari kebahagiaan orang lain, dari pencapaian-pencapaian orang lain yang nasibnya tidak seburuk aku. Lalu di bilik tahanan itu terlihat samar bayangan dari pemimpin para tahanan. Dia begitu mirip denganku namun dengan aura yang berbeda.

Dia adalah sisi kekanak-kanakanku. Sisi di mana ketika aku menginginkan sesuatu harus segera dituruti. Sisi di mana ketika aku sedih, kehilangan dan berputus asa menjadi begitu sulit untuk bangkit. Sisi di mana ketika aku terlalu lama mengurung diri kemudian semakin banyak iri dengki dan kecemburuan serta kemalasan yang kutangkap dan kujadikan kasur empuk di zona nyaman yang tak kasat mata.

Walau gayung remuk total, gelas kaca berhamburan, tembok-tembok retak, aku tak akan mati bila belum waktunya mati. Hanya tercipta puluhan benjol di kepala, hanya gemeretakan gigi, dan gemetaran sendi-sendi. Gagal mati memang lebih pedih karena sakitnya bukan kepalang. Namun, mungkin akan lain jika caranya diubah. Tinggal burai airmata yang berlanjut esok.

Aku sudah mencoba mati berkali-kali tapi tidak pernah berhasil. Aku rindu dan sangat ingin pulang ke rumah Tuhan, rumahku sebelum aku diturunkan ke dunia.

Dunia begitu kejam dan hanya Tuhan yang benar-benar mencintaiku. Hanya rumah Tuhan tempat paling nyaman dan aman. Namun, Tuhan tidak juga membukakan pintu. Kupikir masih banyak hal yang harus kulakukan di dunia ini. Bukan hanya untuk menghabiskan waktu dan mengusir kebosanan, tapi juga sebagai syarat agar aku bisa pulang segera.

“Ayahnya dipenjara kasus pemerkosaan, Bu. Baru seminggu ditahan katanya mati dikeroyok napi lain.”

“Miris, ya. Bibit gagal itu anaknya. Liat aja kelakuannya setiap hari. Berantem sama Ibunya, ngebangkang, ikut tawuran, ndak punya adab.”

Orang-orang sinting itu selalu mengungkit kejadian masa lalu. Mereka menghardik diriku atas kesalahan yang diperbuat orang tuaku. Menggamblangkan sangsi norma kesusilaan pada langkah kakiku yang berdarah-darah. Menyebutku bajingan kala jiwaku belum siap menormalisasikan ucapan barusan.

Umur empat belas udah ikut-ikutan ngerokok. Anak enggak bener. Aku jadi Ibunya udah kukasih sama keluarga Ayahnya. Enggak kuat, Bu. Aduh, yang ada setiap hari dipanggil kasus hitam di sekolah.”

Ah, mereka benar. Aku memang anak yang tidak benar, tidak normal. Tenang saja. Aku yang salah karena tumbuh dengan embel-embel belakang anak  narapidana.

“Enggak kasian Ibunya.”

“Enggak kasian Ibunya.”

“Enggak kasian Ibunya.”

Heivel! Kamu denger Bunda enggak sih?!”

Aku menoleh sekilas pada Ibuku yang terus mengacak-acak tas sekolahku. Dia memegang dua bungkus rokok yang salah satunya masih terisi penuh.

“Abis berapa bungkus kamu seharian ini? Pulang sekolah bukannya salam malah langsung lempar sepatu, badan bau asap, rambut urakan, seragam dikeluarin. Kamu anak sekolah?”

“Bunda emang enggak capek, ya, berantem gini terus setiap hari? Topiknya itu-itu lagi, diulang terus siklusnya. Tujuan sekolah kan biar lulus dapat ijazah, biar pintar juga. Nah, salahnya Mahen dimana?”

“Rokok enggak bagus buat kamu—“

“Iya, tau. Udah sana pergi. Gue gamau berantem.”

“Vel!”

“Apa sih? Gue capek, lo denger enggak? Anak lo ini capek, mau istirahat.” Aku membentaknya dengan tegas. Kepalaku berdenging.

“Kak, kalau kamu kecewa sama Bunda jangan sakitin diri kamu, jangan rusak badan kamu pakai barang-barang itu. Cerita sama Bunda, kita cari jalan keluarnya sama-sama!”

“Lagi enggak tertarik tukar pikiran, Bun. Mending biarin anaknya sendiri dulu.”

“Bunda cuma mau dekat sama kamu.”

“Enggak perlu. Gue udah biasa mendam semuanya sendiri, kok. Udah kebal. Jangan sok peduli.”

“Kak.”

“Keluar. Sekarang.”

Sempat terlintas dalam pikiranku bagaimana bisa terlahir begini. Kaki, tangan, mata, dan telingaku masih dua. Mulut, kepala, dan nyawaku tetap satu. Sekilas memang tak ada yang berbeda. Aku normal. Ya, aku normal. Setidaknya sampai mereka tahu seluk-beluk keluargaku.

Senja telah berganti pekat malam. Anak rambut acak diterpa angin hulu timur. Dingin menusuk ke tulang sumsum. Suara-suara di jalanan luar sana terus berseliweran membuatku enggan memejamkan mata yang letih dipaksa seharian berpura-pura. Senyuman yang rasanya kaku untuk sekedar digerakkan.

Hal-hal memuakkan hasil stigma buruk itu terus merantai dan menjauhkanku dari kehidupan remaja khas putih-abu yang penuh romansa. Entah sampai sejauh mana lagi aku bisa bertahan. Rasanya raga ini begitu merindukan dekapan.

•• ────── ••

a/n:

Update lebih awal karena aku mau pergi takutnya malah kelupaan..

we call his name:“heivel”“mahen”“ivel”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

we call his name:
heivel
“mahen”
ivel

Maître D'Hôtel ; JangkkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang