11. Chain Hotel

156 30 0
                                    

Vote dan komen!

•• ────── ••

Apa kabar, Helmine? Sekian lama kita tak bertegur sapa, padahal semesta sudah sering mengirim rintik hujan sebagai perantara rindu. Apa kamu merasakan perasaan yang sama saat memandangi pelataran langit di luar sana?

Aku mengetuk-ngetuk pulpenku di permukaan meja. Gelisah mendampingi saat otakku yang letih terus dipaksa mendengarkan materi pembelajaran dasar kejuruan selama enam jam penuh.

Mataku menatap lurus ponsel di pergelangan tangan yang tak juga kumatikan. Kepalaku berpikir keras, siapa gerangan orang yang mengirimkan pesan semacam ini padahal belum pernah bertemu? Bukankah ini semacam kebiasaan yang unik?

Jemariku ingin membalas pesan itu, tapi pikiranku menghalanginya. Aku tak punya waktu untuk bermain-main.

“Kalian udah baca grup kelas, kan?” Tiba-tiba guru dasar kejuruanku bertanya. Kami semua sontak mengiyakan.

“Besok dari rumah tetap pakai seragam hari Jumat, jam sembilan akan diberi waktu ganti ke pakaian grooming hotel. Blazer, kemeja, span, stoking, nametag juga jangan lupa.”

“Iya, Pak!”

“Tolong barangnya jangan sampai ada yang tertinggal karena pihak hotel pasti melihat ketelitian kalian sebagai pertimbangan lolos The Iland class.” Guruku, sebut saja Pak Seto, terus mengingatkan kami. Kebetulan dia juga merangkap sebagai wali kelas 10 Perhotelan 2, kelas ini.

Beruntungnya aku, Karin sempat memberikan sejumlah uang sebelum pergi ke kampung halaman. Uang itu aku pergunakan seperlunya jika ada kebutuhan mendadak untuk perlengkapan sekolah. Membeli barang-barang yang disebutkan Pak Seto contohnya. Aku membeli semua itu sendiri, tanpa campur tangan keluargaku.

Dari jauh-jauh hari aku sudah diberi tahu oleh angkatan sebelumnya jika kami harus membeli blazer, span, dan kemeja putih. Sehingga sekarang ini aku bisa bernafas tenang karena segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan baik.

Keesokan harinya tepat di jam sembilan pagi kami diberikan waktu bersiap, sekaligus diperbolehkan menggunakan riasan wajah. Aku menyelesaikannya secepat mungkin, aku menunggu teman semejaku, Lina, juga Sekar dan Mutia. Kami berempat adalah teman dekat. Mereka orang yang paling mengerti keadaan dan posisiku.

Sekarang kami harus bergegas pergi. Di lain waktu akan kusempatkan berbagi sedikit cerita dan menjelaskan sifat-sifat mereka.

•• ────── ••

Kami sampai kira-kira setengah jam kemudian. Jarak antara sekolahku dan Hotel The Iland memang tidak terlalu jauh.

Untuk sekilas informasi sebagai penggambaran, sekolahku tergolong favorit dalam segi fasilitas yang sangat mumpuni. Minusnya seperti yang pernah kuceritakan, sistem pembelajaran dan pemikiran guru-gurunya nol besar. Mereka terperangkap pada tahun-tahun kejayaan mereka bersekolah, menolak modernisasi dan membangun stigma seenaknya pada murid.

Tak banyak yang tahu soal keburukan itu. Umumnya memang orang-orang akan terbujuk rayu oleh segala macam keindahan duniawi.

Di jurusan hotel yang kupilih tersedia tiga bangunan hotel milik sekolah yang betul-betul beroperasi dengan tarif yang sudah ditentukan. Jurusan pariwisata memiliki lab komputer tersendiri, mereka selalu berwisata ke tempat-tempat menarik di sekitaran Jakarta—tour dadakan merangkap menjadi pemandu. Busana memiliki tiga ruangan untuk menjahit dan mendesain pakaian. Kuliner punya dapur megah yang setara dengan dapur restoran bintang lima. Ah, intinya semua jurusan punya tempat praktiknya masing-masing, dan ruangannya memang lebih dari satu.

Tak ketinggalan pula tersedia tempat laundry, salon, ruang aula yang besarnya seperti lapangan basket, kafe, gedung bakery, gedung cagar budaya, tea house yang lantai atasnya menjadi perpustakaan terbuka, juga pendopo. Sekolah ini sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang. Awalnya sekolah ini dikhususkan bagi para anak-anak bangsawan, atau anak pribumi yang berpengaruh, lalu berkembang menjadi sekolah kesetaraan wanita (kerumahtanggaan), dan terus mengalami perubahan hingga sekarang. Oleh karena itu, tak heran jika sekolahku sudah terkenal sejak dulu dan merupakan aset budaya yang dijaga pemerintah daerah.

Lupakan soal sesi memamerkan fasilitas sekolah. Sekarang perhatianku hanya terarah mendengarkan presentasi singkat dua pembawa acara yang terus mengajak kami berinteraksi perihal segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia hotelier. Hotel ini dulunya pernah menjadi saksi keberlangsungan resepsi pernikahan salah satu presiden RI. Ruangannya luas dan mewah, juga elegan sekali. Meja-mejanya ditata apik, semua ornamennya cantik dan eksotis! Aku dibuat kagum dalam sekali pandangan mata.

“Dari gambar-gambar yang udah aku kasih liat ke kalian, ada yang bisa menyimpulkan enggak apa perbedaan hotel The Iland sama chain hotel* yang lain?”

*Chain Hotel: hotel yang tidak berdiri sendiri. Punya hubungan dalam kepemilikan dan cara pengelolaan dengan perusahaan lain.

Setelah memerhatikan dengan seksama dari awal hingga akhir, aku sedikit paham maksud pertanyaan barusan. Aku mengangkat tangan dengan keraguan, kemudian menjawab saat pembawa acara datang menghampiri sembari menyodorkan mikrofon.

“Emm ... kalo chain hotel lain desainnya serupa, Kak. Karena kan mereka satu induk, jadi desainnya enggak jauh beda di tiap cabang. Kalau The Iland selalu beda-beda konsep di tiap negara walaupun termasuk chain hotel,” jawabku yakin.

Dua pembawa acara terdiam sambil menatap satu sama lain. Detik berikutnya mereka tertawa dan bertepuk tangan sebagai apresiasi terhadap jawabanku.

“Bagus, jawabannya benar kok. Siapa namanya kamu? Biar dicatat.”

Aku menoleh ke arah Sekar dan Mutia, mungkin karena gugup. “Wihelmina, Kak. Wihelmina Gayatri.” Tanganku menyodorkan mikrofon barusan kembali pada sang pemilik.

“Oke, makasih banyak Wihelmina udah jawab pertanyaannya.” Mereka kembali fokus pada layar monitor di depan.

Aku tersenyum tipis dibalik masker, dan mengangguk sebelum duduk kembali. Aku tak memperhatikan siapa nama mereka saat perkenalan, jadi aku tak tahu harus memanggil mereka siapa. Yang jelas mereka berdua membuat kesan baik, pembawaannya ramah, terkadang di tengah materi mereka selalu menyelipkan candaan berbahasa Inggris.

Tata tertib di hotel ternyata lumayan banyak dan menguras kantong. Kami diberi arahan soal ketentuan sepatu, ketebalan stoking, cepolan rambut, riasan, dan juga etika bicara. Terakhir mereka menambahkan bagi kami yang lulus dari kelas industri akan diberikan penghargaan simbolis, juga sertifikat yang menunjang dalam dunia persaingan kerja.

Tentu saja aku tertarik bergabung di dalamnya. Sejak awal, sebelum mereka menjelaskan keuntungan-keuntungan yang akan didapat, aku sudah bertekad lolos dalam seleksi kelas industri. Ini pengalaman luar biasa, dan aku harap saat nantinya aku lulus akan memudahkanku mencari lapangan pekerjaan, pun kalau bisa aku ingin bekerja berkeliling dunia di kapal pesiar.

Ah, membayangkannya membuat jiwaku semakin menggebu-gebu!

•• ────── ••

a/n:

Akhirnya di-posting juga itu video tiktok Jangkku. Fansnya udah nungguin dari kapan tau 🤡

Maître D'Hôtel ; JangkkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang