01. Dia Memang Sesuatu yang Membuatku Tersenyum Selalu

38 9 11
                                    

01. Dia Memang Sesuatu yang Membuatku Tersenyum Selalu

"Kupikir bakal bagus kalau ada kata 'aksara'nya. Tapi terserah kamu, sih, Syaa. Aku yakin kamu bisa menemukan nama yang cocok buat branding."

Begitulah sekiranya persepsi yang ia sampaikan dalam format pesan. Dia sama sekali tidak membantu! Sungguh! Aku tidak perlu dibuat yakin dalam hal kebolehan menentukan nama penaku, tetapi aku membutuhkan saran nama secara langsung, karena aku sudah cukup lelah berpikir.

Aku tak memiliki minat untuk mengetikkan sesuatu sebagai balasan. Yang kulakukan hanya menatap pesan dari pria itu sembari merenung memikirkan. Hingga aku merasa mendapatkan setitik cahaya yang menuntunku untuk menyelesaikan persoalan, kalau di kartun-kartun, biasanya akan muncul sebuah lampu menyala tepat di atas kepala—menandakan telah ditemukannya solusi dari permasalahan di hadapan.

Aksara? Syaa? Mengapa tak kugabungkan saja dua kata itu dan menambahkannya dengan inisial namaku? Ak diambil dari kata aksara, Syaa terinspirasi dari panggilan cowok itu untukku (aku tidak tahu mengapa dia men-double-kan huruf 'a' tatkala berbicara padaku), dan Na yang merupakan huruf pertama dari setiap baris namaku. Yang jika digabungkan akan menjadi ... aksyaana.

Sempurna. Itu nama pena yang sempurna.

Segera kuketikkan balasan untuk pesannya, kulihat, dia masih online. Syukurlah. Aku ingin berterima kasih banyak kepadanya.

"Maaf karena aku cukup lama menanggapi pesanmu, tadi aku tenggelam dalam pikiranku sendiri hanya karena hal ini.

Namun, kabar baiknya, lamunanku gak berakhir sia-sia! Aku sudah menemukan nama yang cocok untuk dijadikan nama pena dan ini semua berkat kamu, El!"

Tak perlu waktu lama untukku mendapatkan respon darinya.

"Benaran? Apa? Mengapa jadi berkatku?"

"Iya. Aksyaana. Karena memang semua ini berkat kamu! Ah, gak tahu, deh, bingung!"

Oke, aku sudah kehabisan kata-kata karena saking bahagianya. Aku yakin, di seberang sana, pria senja itu menertawakan kebodohanku yang sangat amat tidak lucu—atau mungkin hanya tersenyum? Sebab aku tak pernah melihatnya tertawa. Tentu saja. Dia, kan, kulkas dua pintu yang menjelma menjadi manusia.

"Kamu lucu. Dan aksyaana ... itu bagus banget! Aku sudah bilang, kan, kamu pasti dapat menemukan nama pena yang bagus."

":) terima kasih, ya, Pak Sutradara."

Tidak seperti yang dikatakan orang-orang. Bagiku dia bukanlah sosok dingin yang minim ekspresi dan suka berkata pedas—ah, tidak, yang kedua kuakui adalah sebuah fakta—melainkan seorang pria yang tak dapat mengekspresikan apa yang ia rasakan. Dia manis, sangat manis. Tidak hanya perlakuannya, tetapi kata-katanya juga.

Aku benar-benar tidak berbohong. Perlakuan dan setiap kalimat yang ia berikan memang mengandung pemanis yang sangat banyak! Hingga aku pernah berpikir jikalau diabetes dapat disebabkan olehnya, mungkin aku akan menjadi orang pertama yang mengalami itu semua. Seperti di pesannya yang menjadi penutup dari aktivitas chatting kami kini—yang juga menambahkan daftar 'kata-kata puitis Pak Sutradara' yang tercatat dalam ruang ingatanku.

"Aku senang karena kamu senang, Syaa. Aku harap kamu dapat terus menulis sampai kapan pun. Kamu harus tahu kalau di sini, di sekitarmu, ada banyak orang yang mendukungmu. Sayang rasanya kalau kamu berhenti setelah mampu melewati suka duka yang terjadi selama menulis hingga sejauh ini. Apa pun itu, ingat kalau kamu gak sendiri.

Semangat berkarya, ya, Bu Penulisku."

Kan? Dia ini memang sesuatu!

Karena dengan caranya sendiri, ia selalu mampu mengukirkan lengkungan di sudut wajahku.

Kisah-Kisah yang Terbang Bersama AnginWhere stories live. Discover now