06. Tentang Kita di Mata Orang-orang

17 7 12
                                    

06. Tentang Kita di Mata Orang-orang

Setelah sekian minggu terlewati dengan agenda proses pembuatan pertunjukan teater, tidak hanya kemajuan progres kerja yang menyongsong semangat untuk berkibaran, tetapi juga kedekatan aku dan El yang makin hari kian ada perubahan turut menarik perhatian. Kami bagaikan kesatuan yang tak dapat terpisahkan, karena memang kami saling melengkapi satu sama lain. Akibat kerap dilemparkan candaan bermaksud menjodohkan, kami sampai memiliki julukan masing-masing pun sebutan ‘kapal’ aku dan El.

Menanggapi lontaran candaan demikian, aku hanya menanggapi sewajarnya saja. Toh, aku sendiri mengakui perihal kedekatan kami, walau mungkin di pikiran mereka, hubungan aku dan El lebih dari sekadar teman atau pun partner tim. Tak jauh berbeda, El bereaksi sama pula, bahkan dia terkadang dapat bersikap seolah-olah pemikiran mereka itu benar—maksudnya, aku dan El menjalin hubungan lebih.

Lucu sebenarnya melihat bagaimana reaksi El tatkala anggota tim yang lain menggodanya dengan kehadiranku. Walau mimik wajahnya senantiasa datar menutupi, gerak-geriknya tak dapat menyembunyikan kenyataan bahwasanya ia salah tingkah sendiri.

Sebab hal itu pula, aku menjadi bingung dengan diri ini, maksudnya … aku selalu menyukai bentuk salah tingkah seseorang jika berkaitan denganku. Seperti, ada kebahagiaan tersendiri saja ketika melihatnya.

Seperti kala itu, tatkala aku terlambat datang dalam janji pertemuan untuk membahas persiapan pertunjukan teater, aku ingat bagaimana menggemaskannya tanggapan El perihal kedekatan kami di mata yang lainnya.

“Maaf, kalian nunggu aku lama, ya?”

“Lama. Lama banget, Sya,” jawab El sembari menekan setiap katanya dan memasang ekspresi datar seperti biasa.

“Nggak, kok, Na, nggak lama. Cuma bagi sutradara kita ini lama, ya, karena sedetik aja lo gak ada, dunianya serasa hampa.”

“Apaan, sih? Gak jelas.”

“Gak usah malu-malu kucing gitu, lah. Kalian, tuh, kelihatan cocok tau! Jangan bilang kalian memang pacaran tapi backstreet, ya?!”

“Mana ada! Orang belum juga.”

“Belum?”

Aku hanya tersenyum kala itu sembari menatap kamu yang tampaknya bingung ingin berkata apa untuk mengelak. Namun, kecil reaksi yang kamu tunjukkan, membuatku tahu bahwa kamu sepertinya memang menyimpan perasaan. Mungkin, secara tampilan yang diproyeksikan, kamu memang terlihat tidak menyukai, tetapi terlepas dari gerak-gerik pun tindakan yang dapat dikendalikan, terkadang di beberapa kesempatan, ia seringkali tak berjalan sesuai dengan yang kita inginkan—menunjukkan kenyataan dan malah gagal menutupi kebenaran. Contohnya, ucapan verbal tersirat yang kamu ungkapkan tadi, dan kalimat tanya berbalut perhatian yang kamu lontarkan, serta tatapan mencemaskan yang tak sengaja kamu perlihatkan—semua itu mungkin luput dari segala yang kamu coba kendalikan.

Ya ….

Pada hakikatnya, seseorang bisa bersikap seolah dia membenci walau sejatinya ia menyukai.

Benar, ‘kan?

Terlepas dari hal itu, aku pun bingung dengan sebagian besar pola pikir orang-orang, di mana mereka hanya mau tunduk dan percaya dengan apa yang terlihat oleh mata, padahal pada realitanya, sesuatu yang dapat ditangkap indra penglihatan, belum tentu menjadi bukti akan benarnya suatu kejadian.

Seperti prasangka mereka perihal kedekatan aku dan El, bagi mereka mungkin kami memiliki hubungan lebih dari teman, karena memang begitu yang terlihat. Padahal, kami hanya sahabat.

Iya … dan sampai kapanpun tidak akan lebih dari itu.

Kisah-Kisah yang Terbang Bersama AnginWhere stories live. Discover now