05. Pembuktian di Bawah Hujan

18 9 11
                                    

05. Pembuktian di Bawah Hujan

Aku menengadahkan kepalaku dari sudut gazebo tempatku duduk. Kulihat bagaimana air semesta itu meluruh jatuh, disertai oleh semilir terpaan angin yang lumayan kencang tetapi menyejukkan—tidak membuatku kedinginan.

Aku menyukai hujan. Namun, mengingat bahwa ia merupakan suatu pendambaan yang sukar terwujudkan, membuatku terkadang kerap merenungi ketidakbebasan yang mengurungkan.

El itu manusia bunglon. Dia terkadang bisa peka pun terkadang pula tidak, tetapi besar keinginanku di gazebo kala itu, tampaknya dapat ia lihat dengan mudah, “Kamu mau mandi hujan?” tanyanya.

Fokusku yang awalnya terkunci pada satu pemandangan di depan, kini harus kualihkan kepada satu-satunya orang yang berada di situ bersamaku kala itu. Sebenarnya ini salahmu, El! Kalau bukan karena kamu yang tiba-tiba saja menghubungiku dan mengajak bertemu untuk mendiskusikan sesuatu (seputar pertunjukan teater), mungkin aku takkan terjebak di sana pun meratapi nasibku yang tak dapat berbuat apa-apa. Untungnya, kamu sudah mulai bisa membuka diri denganku dan tak membatasi dirimu dalam berinteraksi dengan siapa pun lagi.

“Aku gak dibolehin mandi hujan.” Singkat, padat, dan jelas. Ya, setidaknya aku membalasnya dengan kejujuran atas kalimat tanya yang dia lontarkan.

“Kalau kamu mau, aku bisa menjamin mamahmu gak akan marah nanti kalau kamu mandi hujan.”

Selepas dia mengucapkan hal itu, aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pria di dekatku tersebut. Aku hanya bingung saja, bagaimana bisa seseorang menawarkan bantuan dengan wajah yang tak berekspresikan apa-apa, seperti—apa dia benar-benar berniat menolong dengan ketulusan?

Namun, kecil ungkapan pertolongan yang dia berikan kujawab dengan senyuman, “Aku suka hujan, dan setiap air semesta ini berjatuhan, aku rasanya ingin berdiri di bawahnya untuk membuktikan sebuah pernyataan. Tapi, karena selalu dibatasi, aku gak berani membantah. Aku juga ….” Kulihat dia menatapku seakan menunggu lanjutan dari kalimat yang berusaha untuk kusampaikan, “takut sakit.”

Entah apa yang lucu dari setiap kalimatku, tetapi untuk sekian kalinya, aku melihat senyum pun tawa kecil yang menghiasi wajah manusia minim ekspresi itu. Aku hanya melihatnya dengan tatapan aneh dan sedikit memajukan bibirku kesal. Tangannya tiba-tiba terangkat mendekat ke kepalaku. Tak tahu apa yang terjadi, senyumnya tiba-tiba hilang bergantikan dengan wajah yang tak dapat dideskripsikan, dan pada akhirnya, tangannya tadi ia pergunakan untuk menjitak kepalaku sebelum memasang wajah datar kembali pun mengarahkan pandang ke arah lain.

Aku yang sebenarnya kesal setengah mati, hanya mendiamkan diri karena inilah bentuk penenanganku tatkala marah. Namun, tak berhenti sampai di situ, dia kembali bersuara mengalunkan beberapa kalimat yang membuat kekesalanku bertambah besar sahaja.

“Memangnya manusia kek kamu bisa sakit juga?” Dia berkata masih dengan mimik tanpa ekspresinya yang bagiku sangat amat menyebalkan, “... maksudku, virus-virus penyakit yang jahat itu memangnya nggak segan begitu … untuk menjangkiti manusia dengan segala kebaikan yang menguar dari orang kayak kamu?”

Aku hanya bisa memasang air muka terkejut pun tidak menyangkaku dengan pola pikir ‘Pak Sutradara’ itu sebelum akhirnya menjawab, “Kamu kira virus bisa pilih kasih? Ternyata orang kek kamu bisa mikir hal random juga, ya? Saking randomnya, pemikiran kamu, tuh, kayaknya gak pernah terjamah oleh otak orang-orang lainnya, tahu gak?”

Selepas berdecak kesal, aku pun memutuskan untuk kembali fokus kepada pemandangan hujan di depan, menghiraukan pria robot menyebalkan yang sekarang melepaskan tawa kecilnya.

“Sekali-sekali melakukan apa yang kamu mau, kupikir nggak ada salahnya. Kujamin, selama kamu sama aku, kamu gak bakal dimarahin kalau mandi hujan.” Aish, aku sudah susah payah untuk tak mengacuhkannya, beberapa patah kalimat yang ia luncurkan berhasil dengan mudah mengambil alih atensiku. Kulihat, dia yang awalnya duduk saling berhadapan denganku tiba-tiba berpindah tepat ke sebelahku, senyuman kecil menyiratkan ketulusan terukir di sudut bibirnya, rasa kesalku sedikit berkurang eksistensinya sebelum dia dengan sengaja mendorong-dorong tubuhku untuk turun dari gazebo, “Sudah, sana!”

Aku yang memang duduk di dekat perbatasan gazebo tentunya terdorong keluar dengan mudahnya, aku hanya dapat memasang raut kesalku sembari menatapnya yang tertawa bahagia. Dengan air hujan yang membasahi tubuhku, kucipratkan air tersebut dengan tanganku untuk melampiaskan emosi yang sedari tadi tertahan.

Dibanding membuang waktu untuk ‘Pak Sutradara’ itu, aku memilih untuk fokus pada suatu pendambaan yang kini terwujudkan—berdiri di bawah hujan. Sepertinya, aku mengedarkan pandangku dengan kagum menikmati pemandangan itu secara langsung. Tangan kananku kutengadahkan, sehingga aku dapat melihat bagaimana rintik semesta itu kian berjatuhan dan melebur di telapak tanganku. Tak kusangka, tanpa diminta, sesosok raga yang sedari tadi menemani, kembali menunjukkan eksistensinya dengan turut menengadahkan tangannya di sebelah tanganku. Pandangan kami sempat bertemu dalam satu temu, tetapi tak sampai lima detik, dia menurunkan fokusnya pada kedua tangan kami yang saling menengadah pun air hujan yang berjatuhan.

Aku membuka suara, “Kamu tahu, El? Orang-orang bilang, kalau kamu ingin menangis, menangislah di bawah hujan, karena siapa pun gak akan menyadari kesedihanmu.”

“Dan kamu percaya itu?” Mata kami kembali saling mengunci pandang. Tidak berapa lama, aku tersenyum dan memutuskan tatapan kami, juga menurunkan tangan kananku yang tadinya menengadah. Aku berniat membalikkan badanku karena ingin kembali pulang ke rumah, tetapi satu kata bermakna panggilan mampu menghentikan langkahku, hingga berbalik menatap sang pemilik suara.

“Syaa ….”

“Pada kenyataannya, membuka diri yang telah lama kubatasi itu sulit, tapi melihat besar ketulusan kamu, entah kenapa aku dapat dengan mudah membuka diri dan menerima kamu untuk berada di dekatku.”

Kulihat dia yang sudah turut menurunkan tangannya tersenyum penuh ketulusan, “Untuk kali ini dan seterusnya, jangan sungkan untuk bercerita denganku, ya?”

“Kuharap, kita bisa saling berbagi sesuatu … yang mungkin dengan kata ‘saling’ yang tersemat itu, bisa buat hari kita baik-baik aja.”

“Dan untuk sekian kalinya, aku kembali bersyukur atas kehadiran kamu di dalam kehidupanku.” Dia kembali berkata, “Terima kasih, ya, Syaa?”

Kisah-Kisah yang Terbang Bersama AnginWhere stories live. Discover now