11. Buah Tangan dari Yogyakarta

4 3 5
                                    

11. Buah Tangan dari Yogyakarta

Yogyakarta itu … salah satu kota impianku. Menilik segala potret dari sosial media perihal keindahan di sana, ditambah pula dengan pemandangan Yogyakarta yang El abadikan dengan lensa kamera, membuat keinginanku untuk ke sana kian membara. 

Namun, kalau pun setiap liburan ke berbagai tempat yang keluargaku lakukan mau setidaknya menerima negosiasi, usulku untuk ke Yogyakarta mungkin takkan semudah itu mendapat kata ‘iya’. Terlebih aku tak punya alasan dan tujuan apa-apa untuk ke sana. Mengunjungi El? El saja masih di Palangka Raya, lantas untuk apa aku ke Yogyakarta dengan niat ingin mengunjunginya? Menikmati pemandangan? Bahkan Palangka Raya pun tak kalah indahnya dengan Yogyakarta, lalu untuk apa aku mencari keindahan di lain kota?

Walau aku belum bisa pergi ke Yogyakarta, setidaknya aku mempunyai sahabat yang asalnya memang dari sana, ‘kan? Di mana setiap hari-hari penting keagamaan atau pun adanya acara keluarga, El biasanya ikut pulang ke kampung halamannya. Jadi, walau aku belum bisa merasakan angin Yogyakarta, sekurang-kurangnya aku masih bisa menikmati sesuatu (oleh-oleh, mungkin?) dari sana.

Namun, El malah menguji kesabaranku dengan tingkah anehnya sepulang dari Yogyakarta. Kala itu, aku, El, dan dua sahabat kami yang lain mengusung janji untuk bertemu di sebuah pelabuhan. Aku dengan semangat yang membara pergi ke sana sembari mengharapkan El membawa buah tangan dari Yogyakarta. Namun, tak seperti yang kuharapkan, seolah ingin memperlihatkan dirinya yang tak biasa—berbeda dari yang lainnya—El memberikanku sesuatu tanpa rupa.

“Ini! Angin Yogya yang kutabung dari awal aku datang ke sana, ada rindu dan cinta juga di dalamnya.”

Andai aku dilahirkan sebagai anak dengan penuh akan segala kekerasan, mungkin aku sudah memukul, dan bahkan memenggal lehernya. Jadi, menanggapi tingkah laku menyebalkannya, aku hanya dapat memasang senyuman menyembunyikan rasa kesal yang nyata, dan tanganku bergerak seakan menyambut pemberiannya, “Oke, ini kusimpan, ya?”

Mengamati aku yang meladeni segala laku menyebalkannya, dengan mudah membuatnya mengurai gelombang tawa. Aku pun hanya tersenyum kecil sebelum akhirnya melontarkan kalimat tanya. “Ingin tahu satu rahasia?” Kedua alisnya yang terangkat cukup mengartikan bahwa ia menanyakan maksud ucapanku, oleh karena itu, aku dengan senang hati menjelaskan. 

“Kemarin aku lagi suka-sukanya sama Yogyakarta dan salah satu penduduknya.”

“Sekarang gimana? Masih suka?” Dapat kutangkap dengan mata, bagaimana senyuman manis itu menghiasi wajahnya seiring ia melontarkan tanya, bahkan hingga kini adanya.

Sebelum memberikan kalimat verbal sebagai jawaban, aku mengangguk perlahan sembari menatap dia yang seolah menunggu tanggapan.

“Masih, sama Yogya-nya tapi. Kalau sama penduduknya, nggak lagi. Aku malah kesal sama dia. Bayangin aja! Masa dia bawain aku angin!”

Beberapa hari setelah pertemuan kami di pelabuhan, aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Tenang saja, aku tidak menyimpan dendam kepada El hanya karena perkara kecil begitu, lagipula dia berhak ingin memberikan atau bahkan tidak membawakanku oleh-oleh yang kuharapkan. Jadi, aku sudah melupakan rasa kesalku perihal itu. 

Namun, sebuah barang tiba-tiba sampai ke rumahku dengan tukang ojek online sebagai pengantarnya. Sempat terpikir di benakku kalau mungkin ada kesalahan dalam pengantaran, hm … salah alamat, mungkin? Tetapi, setelah sang tukang ojek menyebutkan nama pemerimanya yang memang nama diriku sendiri, jadi mau tidak mau barang tersebut kuterima dengan ragu.

Dengan rasa penasaran yang membara, aku pun membuka plastik yang di dalamnya terdapat bingkisan kado tersebut, dan aku tak bisa menahan gembiraku tatkala melihat isinya yang ternyata adalah buku novel yang telah lama kuinginkan, Geez & Ann.

Pikiranku langsung dipenuhi satu nama.

El.

Sebab, aku pernah memberitahunya betapa aku menginginkan novel tersebut. Oleh karena itu, aku langsung bergegas meraih ponselku, dan membuka aplikasi tempat kami sering bertukar pesan. Hingga benar saja! El yang memberikan buku itu untukku.

Maaf, aku memang gak membawa apa pun dari Yogya, tapi novel kesukaan Bu Penulisku yang kukirimkan ke rumahmu, kuharap dapat kamu terima dengan rasa suka.

Bundaku yang memesankan untukmu, maaf kalau ada kesalahan, barangkali bunda membelikanmu yang salah. Lagipula, aku juga gak mengerti cara kerja belanja online. Maaf.

Aku tersenyum senang. El, memang seorang yang pandai mencipta kenangan indah dengan caranya sendiri dan berbeda dari yang lain.

Manusia paling aneh yang pernah kutemui, tapi anehnya pula ….

Aku menyukainya.

Kisah-Kisah yang Terbang Bersama AnginWhere stories live. Discover now