08. Mengapa Harus Dia?

9 6 0
                                    

08. Mengapa Harus Dia?

Aku menyukai seseorang. Untuk pertama kalinya dan selama bertahun-tahun pula. Sungguh, belasan tahun aku hidup hingga kini, baru kala itu aku merasa jatuh sejatuh-jatuhnya akan satu ruang bertajuk suka.

Alasannya sederhana. Seperti yang pernah kutuliskan di salah satu lembar antologi ini, bahwa manusia terkadang memang selalu percaya akan apa yang terlihat mata. Begitu pula aku pada awalnya. Dalam perspektifku, dia—pria yang kusukai—memiliki setiap kelebihan yang termasuk dalam daftar kriteriaku. Jadi, jikalau aku menjatuhkan rasa untuk seorang yang kuanggap ‘sempurna’, itu bukanlah sebuah kesalahan, kan?

Hingga kini, bahkan di saat aku menuliskan antologi ini, selama belasan tahun … baru sekali aku benar-benar merasa berada di fase ‘menyukai’. Hingga akhirnya, aku bersyukur sebab dapat melewati fase itu.

Namun, kupikir mengingat masa-masa di mana aku menyukainya bukanlah suatu kesalahan. Sebab dia yang pertama, jadi kesan menyakitkan yang sejatinya terukirkan, juga menjadi menyenangkan pada saat yang bersamaan. Kenangan pahit yang indah, karena di kala itu aku belajar banyak mengenai rasa bertajuk suka.

Aku ingat, saat itu, dia yang kusukai dengan mudahnya mematahkan harapanku untuk memilikinya. Aku hanyalah remaja labil dengan emosi yang tidak stabil. Kecil peristiwa menyakitkan pun dapat membuat rasa sesak membuncah di dalam dada. Air lara pula dengan mudahnya mengalir dari pucuknya dikarenakan kecewa.

Laksana malaikat kebaikan yang di sekitarnya membawa energik kedamaian, El datang dengan senyuman yang terlukiskan. Senyuman yang seolah mengatakan ‘semuanya akan baik-baik saja’ dengan bermaksud menenangkan. Namun, bukannya merasa lebih baik, aku malah merasa jahat sekali sebab telah menyakiti hati seseorang yang begitu baik denganku. Mengapa aku tidak bisa menentukan kepada siapa aku menjatuhkan rasa?

Menilik segala momen yang aku dan El lewati, bukankah akan lebih baik jika aku juga balik menyukainya?

Mengapa aku harus menyukai pria lain yang hanya beralaskan sebuah tatapan tanpa adanya pembicaraan?

Kebodohan yang pernah kulakukan: tetap memilih seseorang yang membuatku menangis dan tak melirik seorang yang datang kepadaku dengan setiap kekurangannya, tetapi tetap berusaha menghiburku dari segala sedihku walau dia pun sebenarnya tidak baik-baik saja.

Kisah-Kisah yang Terbang Bersama AnginWhere stories live. Discover now