L&B ─ VI

1.2K 30 0
                                    

Tika dan ketiga temannya tahu, aku akan dipulangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tika dan ketiga temannya tahu, aku akan dipulangkan. Karena jam ketiga kosong, Tika lantas menghampiri ketiga temannya itu yang berada di kelas berbeda. Lalu memandu mereka pergi mencariku, sebelum aku benar-benar meninggalkan sekolah.

Gadis itu benar-benar tunak untuk mencari perkara denganku!

Aku yang berjalan lemau di koridor yang mengakses ruang konseling, mengaso sejenak.

Fuhh~ aku merengus, tatkala nyeri diperutku masih sedikit nakal.

“Oh! Ternyata lu di sini!” seru Tika, menatapku yang membelakanginya.

Mendengar suara gadis sinting itu, jelas aku sedikit memesong ke arahnya. Entah sekarang apa lagi yang diinginkan gadis itu yang seperti tiada habis-habisnya.

“Lu mau apa lagi, sih Tika?” tanyaku, malas.

Tika menyongsong. “Bagus! Sekarang lu udah bisa ngomong! Ikut gue sekarang!” ujarnya, melangkauiku.

Selama ini, aku memang hanya membungkam mulut, bilamana gadis itu bertanya mengenai hubunganku dan Ravael. Baiklah! Aku akan menurut, ah! Tidak, selama ini aku memang menurut di hadapannya, dan membiarkannya menindasku seenak jidatnya. Tapi sepertinya sekarang tidak lagi, mumpung moodku sedang berapi-api, aku akan meladeni gadis sinting itu.

Akupun mengekori Tika dan ketiga temannya yang berarakan di depanku.

Tika yang memandu jalan, memarani gudang belakang sekolah. Tanpa kami sadari, Carleon yang sehabis dari taman untuk menenangkan diri, melihat pergerakan kami.

“Awelka? Sedang apa mereka.” Carleon mengemu, sewaktu menyelia ke arah kami, yang mulai terhalang dari salah satu bangunan gedung sekolah.

Begitu sesampainya di dalam gudang, salah satu teman Tika berjaga di depan pintu. Sementara Tika dan kedua temannya seperti mengintrogasiku lagi yang mereka pojokan ke rak buku terbengkalai.

“Gue mau lu putusin Ravael!” titah Tika, kembali memaksa.

Aku hanya memberinya tatapan sedikit datar, sehingga Tika yang melihatnya meludahi wajahku.

Tcuh!

Aku otomatis memalis, seraya mengesat muncratan ludahnya yang mengenai area wajahku. “Bau! Lu nggak gosok gigi, ya?” kataku begitu lancang, sehingga memicu percikan api emosinya.

“Anj*ng! Lu bilang apa?!” berangnya mencengkeram rambut panjangku, “Gue udah ngomong baik-baik, ya! Tapi lu malah ngelunjak! Dasar cewek jal*ng!”

Plak!

Satu tamparan, Tika daratkan ke wajahku.

Jelas wajahku yang menerima tamparan itu, tercampak ke samping. Teman-teman Tika terlihat begitu santai, dan menikmati apa yang tengah mereka tonton sekarang ini.

“Apa susahnya sih mutusin Ravael~” kata salah satu teman Tika.

“Tau tuh, kan tinggal mutusin aja!” tambah temannya yang lain.

Akupun mendengkus, menjeling sebentar ke arah kedua gadis itu secara bergilir, lalu kembali menatap tajam ke arah Tika. “Kalau gue nggak mau? Lu mau apa?!” lontarku, dengan enteng.

Sontak Tika yang aseran melihatku berperangai degil, langsung menjambak rambutku begitu keras sesat, sebelum ia mendorongku hingga aku menyampuk rak yang ada dibelakangku.

Bruk!!!

Aku menjerit lirih, menahan tubuhku yang meringis. Bukan di belakangku melainkan di perutku.

“Dasar cewek gatal!” bentak Tika, mengangkat tangannya guna menamparku. Aku spontan mengelicau, lekas menyepuk tangannya yang hendak mendarat ke wajahku. Aku sedarun mendangkung wajahnya hingga darah menerjun dari hidungnya.

“AAAAKHHH!!!” pekik Tika, mengerang keras, seraya memegang hidungnya yang memisan.

“Tika!” spontan salah satu temannya, mendekati Tika yang meringis sinambung.

“Dasar cewek sialan!” bentak teman Tika lainnya, refleks menggamit apa saya yang ia gayuk, tatkala ingin memberiku pelajaran.

CLEK!

Bersamaan dengan itu, senyampang pintu gudang selajur melangah kasar. Carleon mendedahnya dengan paksa.

Terlihat teman Tika yang berjaga diluar hanya bisa terpegun gecar. Sontak Tika dan kedua temannya yang lain spontan tercenung cekang, membelalak, tatkala melihat kehadiran Carleon. Lantas teman Tika yang mencekak benda tumpul di salah satu tangannya itu, langsung mencampaknya dengan panik.

“E─Eh? P─Pak Carleon...” gumam salah satu teman Tika.

Tatapan Carleon yang terasah tajam seperti katana, mulai menggelintari mereka dan diriku yang mencengut bisu.

“Sedang apa kalian?!” suara Carleon yang sangat amat dingin, terdengar begitu menggermang, sewaktu tatapan tajamnya seperti mencengkram area di sekitaran kami.

Tika yang sedari tadi memegang hidungnya lantas mendekati Carleon yang masih berdiri di tengah pintu.

“P─Pak Carl, lihat! Awelka meninju hidungku sampai berdarah!” Tika melakukan drama, tatkala mengadu di hadapan Carleon.

Carleonpun meluncurkan padangannya ke arah hidung gadis itu yang masih mengeluarkan sedikit darah. Lalu, pandangannya kembali menyorot ke arahku yang dimana mataku langsung berkelebat.

“Apa itu benar Awelka?!” tanya Carleon, menatap tajam ke arahku.

Aku punya mulut, kan? Aku juga masih punya keberanian. Jika awalnya aku nyalar keroh, maka kini aku akan bertalaran.

“Iya! Saya memang memukulnya.” lontarku, membuat Carleon refleks merebehkan raut wajahnya yang terukir tegas.

“Apa?” Carleon menyahut dengan nada suaranya yang merendah. Dia seperti syak.

Kedua teman Tika lantas saja mendekati Tika yang berdiri di sisi Carleon. Tika dan teman-temannya mulai membual, menuduhku dengan kata yang bukan-bukan. Seakan aku yang bersalah dan melakukan kekerasan terhadap mereka.

Apa itu masuk akal?

Lantas aku yang tak mau seperti keledai dungu, melontarkan satu kalimat untuk Carleon, “Memang benar saya yang memukulnya Pak. Tapi, saya melakukannya, baru sekali. Tapi Tika dan teman-temannya sudah melakukannya lebih dari satu kali. Sampai saya harus membolos sekolah, supaya saya bisa menghindari kejadian seperti ini.”

Ucapanku tersebut membuat Carleon tertegun sejenak. sementara Tika dan teman-temannya terlihat kecabaran panik, dan lekas membela diri, menengkari faktanya.

“Lu ngomong apa, sih! Itu nggak benar Pak Carl!” spontan Tika, menyeka darah dihidungnya yang mulai mengering.

“Emang lu punya buktinya? Udah jelas-jelas bikin Tika mimisan gini juga! Masih aja nuduh-nuduh kita. Nggak waras, ya lu?” sanggah salah satu teman Tika.

Mereka berkata, seakan-akan merekalah yang menjadi korban selama ini.

Aku mengepalkan tangan sambil gemetar geram, menekan rahangku yang meregang. Mataku yang berkaca-kaca, arkian menitiskan satu tetesan air mata.

“Bukti? Semuanya kalian rekam di HP kalian, kan?” kataku, membuat Carleon mengernyitkan alis, sekaligus membuat Tika dan yang lain menyelingar. “Tapi sayang, adegan hari ini nggak kalian rekam. Coba aja kalian lebih pintar, kalian pasti ngerekam gue pas mukul Tika, dan menyebarnya ke forum sekolah, dengan caption, kalau guelah yang membuli Tika selama ini!” tambahku, menekan suaraku yang seperti orang gemelugut.

Anj*ng! Kenapa gue nggak kepikiran ide itu, sih! batin Tika, dengan mata berkelebat. Semuanya jadi nampak kisruh di mata gadis itu.

Carleon mendengkus, sembari mengkukuhkan postur tinggi badannya, yang sudah seperti tiang penyangga gudang saja. Diapun menggabaikan telapak tangannya yang tersingkap ke hadapan Tika.

“Berikan HP kalian, jika perkataan Awelka itu tidak benar!” pinta Carleon.

THE LITTLE SWEET BIG LOVE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang