L&B ─ XIX

1.2K 23 0
                                    

Setelah beberapa minggu berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah beberapa minggu berlalu...

Ujian nasional semakin di depan mata. Para murid angkatan tahun ke─3 mempersiapkan diri untuk bertempur dengan ujian penentuan kelulusan.

Di ruang kepala sekolah, aku dan Carleon terlihat duduk berdampingan. Aku merasa malu dan tak berani mengangkat pandanganku ketika Kepala Sekolah berbicara.

“Kamu tahu kan Awelka! Peraturan di sekolah ini bagaimana? Murid yang melanggar aturan paling berat akan langsung dikeluarkan dari sekolah.” Kepala Sekolah menerangkan begitu tegas.

Aku hanya mengangguk kecil, dengan mata berkaca-kaca.

“Tapi karena kamu sudah kelas tiga, dan ini sudah mendekati UN maka pihak sekolah akan memberikan kamu kesempatan untuk mengikuti UN dengan syarat tertentu. Belajar yang rajin!” ucap Kepala Sekolah, langsung meluruhkan napasnya.

Mendengar ucapan kepala sekolah, sontak saja pandanganku langsung terangkat. Mataku kian terpecul, dengan alis terangkat naik. Aku terkejut, seakan tak percaya.

“Dan kamu Pak Carl! Sesuai peraturan yang ada, kamu akan diberhentikan oleh pihak sekolah sebagai guru, dengan alasan kamu akan mengambil cuti dan memutuskan untuk berhenti mengajar.” Kepala Sekolah yang menambah ucapannya barusan, mampu membuatku semakin tersentak, berpalis ke arah Carleon yang terlihat tenang dan santai.

“Baik Pak.” sahut Carleon, menoleh ke arahku, membalas tatapanku.

Carleon mungkin tidak akan diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru jika saja istrinya bukanlah seorang murid.

Carleon mungkin tidak akan diberhentikan dari pekerjaannya sebagai guru jika saja istrinya bukanlah seorang murid

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari telah berganti.

Secara berarakan, aku mendampingi Ravael hingga ke parkiran.

“Lu yakin gamau belajar bareng malam ini?” tanyaku, menatap tas ranselnya yang terisi penuh.

Ravael menjawab dengan begitu yakin, “Gue harus berkunjung ke rumah nenek gue. Jadi gue bakalan belajar di sana sekalian nginap.”

Untuk sesaat aku tak bisa berkata apa-apa. Lalu aku teringat akan sesuatu sebelum dia mendekati kuda besinya, “Rava...”

“Hm?” Ravael menatap penuh ke arahku.

Aku memajang senyuman ayuku di hadapannya, membuatnya sedikit berkelebat tersipu. “Nanti pas habis ujian, kita liburan ke taman bareng ya. Pak Carl udah setuju, dan bakalan ngajakin semuanya.”

Ravael nampak menghela napas serejang, kemudian membalasku dengan senyuman legitnya disertai anggukan kecilnya. Dia kalakian mendekatiku, sebelum benar-benar meninggalkan rumah. Tangannya terangkat lembut dan membarut-barut kepalaku dengan gemulai. “Kalau gitu gue pergi dulu ya bawel.” pamitnya.

Akupun refleks menyengguk senang dan mememeluknya. Entah kenapa aku merasa Ravael akan pergi jauh dariku. Tapi tiba-tiba suara Carleon terdengar, membuat kami kompak melihat ke sosoknya.

“Udah! Jangan lama-lama peluk-pelukannya, nanti kalian bisa jatuh cinta kembali.”

Aku dan Ravael jelas saja langsung melepas pelukan kami satu sama lain. Suasana yang selalu mencengangkan ketika di waktu yang kurang tepat, kini sudah sirna. Meski keduanya sempat saling melempar tatapan datar nan tumpul, tapi aku tak khawatir lagi, karena keduanya memang memiliki ekpsresi seperti itu. Mungkinkah itu bawaan dari lahir?

Sekarang aku bersyukur, Ravael dan Carleon sudah bisa menerima satu sama lain.

“Kami hanya pelukan biasa, nggak usah cemburu om kolot!” lontar Ravael sedikit menggerutu, lalu berganjak pergi ke motornya.

“Cikh! Dasar bocah ingusan itu.” dumel Carleon bergumam, tatkala menatap punggung Ravael dengan kuda besinya yang sudah menjauhi area parkiran.

Akupun mendekati Carleon, dan melingkarkan tanganku diperutnya, “Sekarang tinggal kita berdua Pak. Jadi mau ngajarin aku belajar atau...”

Carleon menundukkan pandangannya, menatapku yang tengah mendongak ke arahnya. “Atau apa, hm? Otakmu ini sebenarnya isinya apa sih.” ujarnya, mencubit gemas pipiku.

Meskipun bersikap lembut, dia tetap Carleon Van Geithoffer, pria dingin yang kukenal sebagai guru killer di sekolah. Tak terlupa juga, lelaki yang menjadi suamiku ini sangat pelit dengan bentuk ekspresi, walau dia sudah mengapresiasikannya melalui perlakuan hangatnya sehingga malah terkesan kaku. Apa itu juga karena pengaruh usianya yang berbeda 13 Tahun dariku?

Akan tetapi...

Entah kenapa, aku semakin jatuh cinta saja dibuat oleh pria kolot itu yang terkadang sikap menyebalkannya itu masih menemani kesehariannya yang mengelilingku.

Menyadari suasana sudah sepi tanpa kehadiran Ravael, membuat Carleon langsung menggendongku, membawaku masuk ke dalam rumah.

“Pak! Pak, mau apa? Turunin aku cepat!” ujarku, nanap.

“Ini kan, yang kau mau.” jawabnya, tersenyum licik, membuat sekujur tubuhku bergidik takut.

Sungguh! Aku belum siap!

Aku hanya bisa pasrah, ketika tubuhku di bawa menuju ke kamar.

THE LITTLE SWEET BIG LOVE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang