Sepuluh

2K 156 12
                                    

"Sayang..."

Panji berbisik tepat disebelah telinga Chilla. Bibirnya dengan lancang mengecupi leher basah Chilla hingga leher wanita itu memanjang kegelian.

Chilla sendiri sempat mematung selama beberapa saat. Gerakan tanganya yang sedang memilih baju terhenti, kini tangan Chilla terkepal di sisi tubuhnya. Cukup, ia tak mau terus seperti ini. Panji tak bisa terus menerus menganggunya.

"Gue bener-bener gak ngerti apa yang lo mau, gue udah turutin untuk kita pisah kenapa lo masih ganggu gue?" Masih dengan posisi yang sama Chilla mulai berbicara.

"Aku udah jelasin alasan aku sempat putusin kamu" ujar Panji.

"Bisa aja itu semua cuma karangan lo, lelaki kan tukang ngibul" balas Chilla.

"Minggu depan ikut aku ke kampung, kamu bisa dengar sendiri semuanya dari Ayah dan Ibu"

Panji sudah berbicara kepada kedua orangtuanya mengenai alasannya tiba-tiba menolak untuk dijodohkan dengan Anya. Tanpa ada lagi yang ia tutup-tutupi, Panji menjelaskan tentang hubungan dengan Chilla yang sudah terjalin selama 3 tahun terakhir.

Respon yang Panji terima dari kedua orangtuanya seperti yang sudah Panji bayangkan. Panji memang sudah menebak keduanya akan marah, tapi Ayah dan Ibunya lebih marah kepada sikapnya yang kurang tegas. Apalagi kedua orangtuanya sudah mengenal baik Chilla sejak wanitanya itu kecil. Panji benar-benar dimarahi habis-habisan terutama oleh Ibunya.

"Kalo lo bilang itu beberapa bulan lalu entah gimana rasa bahagia yang gue rasa. Kok sekarang malah sakit, ya?" Chilla mengucapkannya sambil menahan rasa sesak di dada.

"Maafin aku, sayang" bisik Panji, penuh sesal.

"Bisa lo keluar, gue mau pake baju dulu" Untuk kali ini Panji menurut, ia berjalan keluar setelah sebelumnya mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan Chilla.

Selesai berpakaian Chilla tak langsung keluar kamar, ia duduk cukup lama di atas kasur sambil menyiapkan mental untuk kembali menghadapi Panji. Chilla yakin Panji pasti belum pulang karena ia mendengar suara televisi diluar sana menyala.

Benar saja, saat keluar kamar Chilla bisa melihat Panji duduk dengan santainya di atas sofa sambil menonton televisi. Jika dulu, pasti Chilla tak akan ragu melompat masuk dalam pelukan lelaki itu.

"Kapan lo pulang?" Tanya Chilla tanpa basa-basi. Karena selain merasa risih, Chilla takut ia bisa kembali luluh kepada Panji, karena mau bagaimanapun Panji menyakitinya nyatanya ia tidak bisa sutuhnya membenci lelaki yang sudah 3 tahun terakhir menemani hari-harinya.

"Aku laper"

"Ya makan, tolol" Nada sinis sepertinya sekarang tak bisa hilang setiap kali Chilla berbicara dengan Panji.

"Kangen masakan kamu"

"Masakin aku, ya. Please!"

"Mie instan?" Tawar Chilla, sengaja. Karena ia tahu mantan kekasihnya itu paling anti memakan makanan instan.

Tapi, untuk Chilla seorang Panji tentu bisa dengan mudah melawan pantangannya sendiri. Lelaki itu malah mengangguk.

Sesaat setelahnya malah Chilla yang menyesali tawarannya pada Panji. Tanpa semangat ia memasak tiga bungkus mie instan. Satu untuk dirinya dan 2 bungkus untuk Panji.

Chilla mengeluarkan bahan-bahan tambahan seperti sayur, bakso dan jamur dari dalam kulkas. Lalu mulai memotong bahan-bahan tersebut untuk campuran mie instannya.

Panji memperhatikan Chilla dari belakang. Chilla adalah definisi perempuan idaman. Dalam mimpinya sekalipun, dulu tak pernah Panji bayangkan bisa memiliki perempuan sesempurna Chilla. Jika bukan Chilla yang terlebih dulu mengajaknya menjalin hubungan, mana mungkin akhirnya mereka bersama. Panji tak punya nyali meski sudah lama ia juga tertarik pada wanita itu. Panji baru menyadari ia memang sepengecut itu.

Trust Fund BabyWhere stories live. Discover now