jisung

512 53 2
                                    

Ada hal paling konyol yang gak pernah aku lakukan sebelumnya; mengiyakan ajakan keluar impulsif dari cowok berambut panjang nyaris kena mata itu ke pantai. Datang langsung ke rumah, seakan-akan kayak rentenir bank mau nagih hutang.

Aku bahkan belum persiapan apa-apa. Sandal ketinggalan di rumah, akhirnya sepatuku mendadak tidak jadi alas kaki nanti. Lagipula, orang bodoh mana yang pakai sepatu ke pantai?

“Jangan turun dulu, tunggu.”

Cowok itu buru-buru turun dari mobilnya, tapi sebelum itu mengambil sesuatu dari kursi belakang. Kurang dua menit pintu di sebelahku terbuka, sudah ada sepasang sandal gunung di bawah sana. Biar ku tebak, itu sandal gunung lamanya yang udah gak muat dia pakai.

Lantas, aku melepas sepatuku dan memakai sandal gunung warna hitam itu. Sesuai dugaan awal, kebesaran kalau dipakai kakiku.

Setelah mengambil barang-barang yang sekiranya perlu dibawa, kita mulai jalan masuk ke area pantai. Mengingat sekarang sudah masuk pukul lima sore, banyak keluarga-keluarga yang berjalan berlawanan dari arah dari kita; mereka pulang. Menyudahi rekreasi mereka yang mungkin dimulai tadi siang waktu pantai lagi panas-panasnya.

Kadang aku heran, kenapa memilih siang-siang ke pesisir padahal menjelang sore lebih enak. Itu balik lagi jadi preferensi masing-masing kalau kata cowo tinggi di sebelahku, Jibran.

Kita tetap jalan dari ujung sampai ke tengah-tengah. Aku jalan di bagian pasir yang jarang terkena air, sedangkan Jibran ada di sebelah kanan yang sering terhempas air asin dari laut sana. Bukannya aku gak mau basah, tapi masih belum ada niat, mungkin nanti sebelum pulang.

Selama kita jalan beriringan, Jibran yang memiliki ide kemari belum membuka mulutnya sama sekali. Terkadang kepalanya menoleh ke arah air, aku anggap dia sedang menikmati salah satu ciptaan Tuhan yang indah diberikan secara cuma-cuma; langit mulai bergradasi oranye memberikan pantulan apik di permukaan air yang jernih itu.

Tanpa sadar, aku juga ikutan melihat ke arah air bukan jalan di depanku. Kata orang-orang kalau sedang berjalan harus lihat depan atau bawah, supaya gak berakhir kesandung. Benar katanya karena gak lama kaki kiriku tersandung batang kayu entah dari mana asalnya. Aku memekik dan dengan cepat meraih lengan Jibran sebagai pegangan supaya gak jatuh sepenuhnya ke pasir.

Sedikit menyedihkan, nyatanya aku masih terjatuh namun gak sampai seluruhnya. Hanya sampai lutut kiriku saja yang menyentuh pasir. Jibran sudah cukup membantuku dengan tangan kanannya—tanpa sadar—seperti merengkuhku.

“Lo gapapa? Sakit gak?” Jibran bertanya begitu aku udah sepenuhnya berdiri.

Belum sempat aku membalas, Jibran sudah berjongkok dan mengusap lutut dan kaki kiriku dari pasir pantai yang menempel. Kalau boleh jujur, aku sedikit salah tingkah karena tindakannya itu. Niatku mau untuk mendorong bahunya agar menjauh, tetapi kedua tanganku malah bertumpu di bahu lebar itu. Tetap di sana sampai Jibran selesai dengan kegiatannya.

Gak bisa sinkron, malah buat aku malu.

“Makasih, Ji.” Cuma itu yang bisa aku keluarkan. Pertanyaan sebelumnya biarkan dibawa pergi oleh ombak di sana. Sepertinya yang melempar tanya udah lupa.

“Bisa jalan gak? Atau mau gue gendong?” Jibran menawarkan dibarengi segaris senyum tipis. Dia mau menolong apa menjahili, sih?

Baru sekarang aku bisa mendorong bahunya menjauh. “Gila,” kata ku.

Jibran tertawa mendengar responku. Dia lalu berdiri dan membersihkan lututnya sendiri dari pasir. Kemudian kembali menatapku dan tersenyum—gak tau itu tujuannya apa tapi dengan latar belakang pemandangan cantik itu, lalu wajahnya yang aku akui nyaris sempurna, cukup buat hatiku bergemuruh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

sugar ; NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang